Weekend kemarin bersama seorang teman, saya melakukan perjalanan ke Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi. Teman saya memang berniat hunting fotografi, saya hanya karena belum pernah kesana dan ingin juga menikmati pantai. Rencana kami, one day trip!
Berangkat jam 7 KRL menuju Bogor. Kami memilih KRL karena cepat (1 jam dari Tebet), murah (Rp 2,500) dan nyaman (Sabtu, tidak padat). Dari stasiun Bogor, kami langsung meluncur ke terminal Baranangsiang, dan memilih rute bus Bogor-Pelabuhan Ratu (Bus MGI, seukuran Kopaja). Dengan tarif 25 ribu (AC), kami mulai berangkat ke Pelabuhan Ratu sekitar pukul 8.30
Sebuah perjalanan yang panjang. Kalau tidak salah, saya tidur bangun sampai tiga kali dan akhirnya tiba di Pelabuhan Ratu sekitar pukul 12 (3,5 jam). Di terminalnya, begitu bus masuk langsung berdatangan para tukang ojek di sekeliling bus. Benar-benar membingungkan jika baru pertama datang kesana.
Yang kami lakukan sederhana, janjian di warung makan yang kami tunjuk lalu kami berpencar. Sementara solutif, kami terlepas dari kepungan. Tapi ternyata selama kami makan (dan bahkan saat sholat di masjid), masih ada saja tukang ojek yang ‘setia’. Tentu yang seperti ini justru membuat kami tidak nyaman dan meninggalkannya. Oiya satu lagi, di warung makan itu kami ‘sepakat’ menemukan pelayan yang ‘khas sunda’ :p.
Berdasarkan info dari sopir angkot (yang efeknya kami harus membayar ongkos ‘mahal’), maka kami menuju Pantai Karanghawu, 14 km dari kota kecamatan Pelabuhan Ratu. Karanghawu, asal kata Karang berbentuk Hawu (tungku), pada dasarnya pantainya terbagi dua, yang berkarang dan yang berpasir. Masih bersih, tidak terlalu ramai. Sayang, kami tidak menemukan fasilitas hotel atau tempat makan ‘representative’ yang banyak kami temukan di area Pantai Citepus, sekitar 4-8 km dari kecamatan.
Diantara yang hotel eksotis adalah Samudera Beach Hotel (SBH). Hotel ini satu diantara tiga hotel yang dibangun Soekarno, yakni Hotel Indonesia, Sanur dan Pelabuhan Ratu sendiri. Percaya tidak percaya, banyak ‘cerita’ yang mengiringi di hotel-hotel tersebut. Dan di Pelabuhan Ratu sendiri, hotel ini tampak dari luar kurang terawat. Padahal eksotisme bangunan lampau masih terpancar dari hotel ini (dalam hati, ingin suatu hari menginap di hotel ini).
Berikut adalah beberapa snapshot yang diambil teman saya (his courtesy).
Ini adalah view dari Karanghawu, karang yang tegak melawan ombak.
Pasir yang terhampar, menggugah keinginan untuk merasanya.
Dan inilah kami, dua orang di balik ide perjalanan ini.
Saya mulai menuliskan sesuatu di pasir, untuk sebuah nama.
Sebelum pulang, kami menemukan view yang bagus dari bukit kecil. Sebuah sawah dengan background pantai. Subhanallah, sungguh indah indonesia kita.
Kami lalu pulang jam 4 sampai terminal Pelabuhan Ratu. Harapan kami, menuju Bogor dengan bus AC. Sayangnya, bus AC sudah tidak ada setelah kami menunggu hingga jam 5. Sudah sejam terbuang, maka kami memutuskan bus AC Pelabuhan Ratu-Sukabumi. Sebenarnya bisa menggunakan yang menuju Bogor tapi non-AC. Pikir kami ideal, di Sukabumi pasti banyak bus ke Jakarta (AC). Dan karena si teman tampaknya ingin tahu Sukabumi, kotanya Vagetoz (hehe).
Jam 8 sampai di Sukabumi, terminal sudah sepi. Jangankan bus Jakarta AC, bus menuju Jakarta sudah tidak ada (yang masih banyak justru Bandung, sempat terpikir ke Bandung aja). Jadilah harapan tinggal harapan). Tapi kami bertekad, lebih baik bisa makan tidak bisa pulang daripada bisa pulang tapi tidak bisa makan. Maka, kami makan dulu. Selesai makan, kami akhirnya memutuskan naik colt L300 menuju Ciawi untuk harapan 24 jam bus menuju Jakarta.
Sempat kami di ’handover’ ke Colt yang lebih penuh penumpang di Cibadak, daerah dimana jalan percabangan ke Sukabumi dan Pelabuhan Ratu. Setelah peristiwa itu, saya tidak bisa tidur. Khawatir ada ’handover’ lagi atau malah-malah kena ’akal’ orang. Tiba di Ciawi sekitar jam 10.30, sebuah malam yang ramai.
Tapi perjalanan tidak berhenti disini. Masih harus memilih antara Bus Kampung Rambutan, Merak (ancaman turun di Slipi atau di tengah tol Pancoran), atau mobil ’omprengan’ Cawang. Sampai detik terakhir, Cawang lah yang kami pilih karena alasan lebih dekat ke tujuan. Tiba di Cawang lalau meluncur langsung dengan Taksi pilihan menuju Pancoran sampai jam 11.30.
Menurut teman, kami baru saja seperti melakukan Black Hawk Down, rencana penyerangan 15 menit namun akhirnya jadi seharian. Kami menikmatinya, seperti benar-benar tidak direncanakan, menantang. Dan berpikir bahwa dalam hidup, sekali-kali kita perlu melakukan yang seperti itu. Kuncinya, kita harus menemukan teman perjalanan yang tepat.