Sunday, August 12, 2007

Sokola Rimba

Jika ingin memperbaiki kehidupan, maka mulailah dari pendidikan. Falsafah itu yang benar-benar ada di benak Butet Manurung dan rekan-rekanya untuk bergerak dalam pendidikan rimba, yang dikenal dengan nama Sokola Rimba.

Apa yang ada di benak kita pertama saat mendengar kata rimba? Sebuah kehidupan terbelakang, nomaden, tidak teratur, atau bahkan mencapnya sebagai sebuah kehidupan ‘tanpa budaya’?

Anggapan-anggapan diatas dimentahkan Butet yang dengan keberaniannya memutuskan untuk bergabung dengan Warsi (Warung Informasi Konservasi) yang berlokasi di Jambi, di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas. Tugas awalnya memang hanya sebagai pemberi informasi kepada Orang Rimba(OR) tentang peran penting mereka untuk menjaga hutan mereka atau TNBD secara umum.

Namun, karena paradigmanya bahwa pendidikan adalah awal dari segala perubahan sikap, maka Butet secara ‘tidak sengaja’ mengawali petualang hidupnya dengan menjadi salah satu founder model sekolah nonformal yang diselenggarakan di rimba. Sekolah rimba yang dia inisiasi, kembangkan, dan kemudian setelah keluar dari Warsi telah berwujud sebuah badan tersendiri dengan nama Sokola Rimba (SR).

Buku terbitan Juni 2007 ini terdiri atas dua bagian utama. Pertama adalah perjalanan awal Butet untuk bergabung dengan aktivitas Warsi di Jambi setelah lulus dwi-gelar sarjana yaitu sastra indonesia dan antropologi dari Unpad Bandung, awal kuarter keempat 1999.

Di bagian pertama ini, Butet juga menceritakan tentang pengalaman-pengamalam kehidupan di rimba yang sesungguhnya, sekalipun dia sudah aktif di pecinta alam Pallawa Unpad. Menjelajahi hutan, merasakan, berkomunikasi dengan bahasa rimba dan hidup bersama dengan berbagai kelompok-kelompok OR yang terpisah jauh di dalam rimba.

Menarik dan menantang sekali gaya tutur buku harian yang disodorkan Butet dibagian-bagian ini, dengan diselingi beberapa kekonyolan yang dilakukan Butet sendiri. Pembaca akan banyak tercerahkan dengan model kehidupan rimba yang unik, mandiri, dan juga berbudaya dengan budaya mereka. Selain itu pula, tentu aja sikap atau kondisi kekinian yang menjadikan OR obyek ‘modernitas’ yang makin menjarah hutan tempat tinggal meeka.

Di bagian ini pula, Butet dan kawan-kawannya di Warsi melaksanakan beberapa uji coba model SR. Sekolah yang akrab atau tidak galak, demikian kata anak OR yang trauma dengan sekolah formal yang pernah diperuntukan buat mereka.

Sekolah yang bisa mendidik menjadi manusia, demikian konsep awal Butet kemudian sebuah konsep SR yang berhasil bila SR bisa memberikan manfaat (langsung, riil) kepada lingkungan OR itu berada. Dengan ilmu sastra indonesia-nya,Butet banyak terbantu dalam membuat metode-metode baru yang kreatif tentang belajar baca, tulis dan berhitung.

Cerita perjalanan yang dituturkan dalam bentuk catatan harian ini sungguh memikat, setidaknya menjadikan pembacanya tidak merasa seperti diceramahi sehingga akhirnya tergerak untuk memahami kehidupan OR dan menghormati keberadaan serta pilihan mereka sendiri.

Di bagian kedua, buku ini menawarkan opini yang lebih non-diary tentang kehidupan OR dan kebutuhan SR buat mereka. Butet menggugat pandangan orang luar (non-rimba) yang menganggap OR butuh belas kasihan yang justru menjadikan OR makin rendah diri. Atau anggapan bahwa OR terbelakang ‘tak berbudaya’, yang sebenarnya tak selamanya benar karena OR punya kehidupan mereka sendiri yang mandiri dan ramah lingkungan justru jika tak ada gangguan dari orang luar.

Dan yang menjadi ide pokoknya tentu saja soal Sokola Rimba, sebuah sekolah nonformal yang akrab, tidak kaku dan dekat dengan kehidupan OR. Sekolah yang bukan hanya bisa baca-hitung-tulisan, namun juga bisa memberikan pilihan-pilihan kepada OR yang akhirnyaOR sendirilah yang memilih dan sadar akan pilihannya itu.

Indonesia jujur membutuhkan orang-orang seperti Butet, berani bekerja ‘melawan arus’demi tujuan besarnya dan gigih dalam mewujudkannya. Sosok Women Of The Year 2004 dari Anteve ini seperti setitik embun di tengah masih keringnya pendidikan ‘formal’ kita. Bagaimana pendidikan akan berhasil jika pendidikan sendiri hanya seperti sistem kaku yang tak bisa mendewasakan manusia?

Jika anda sempat berkeinginan untuk bisa berkeliling Eropa suatu hari karena terobsesi suatu cerita perjalanan disana, rasa-rasanya anda perlu membaca buku ini untuk bisa melihat bahwa perjalanan menjelajah rimba negeri kita sendiri bisa menjadi jauh luar biasa menantangnya. Belajar mengenal bangsa sendiri dan jika mungkin sedikit berkontribusi disana, sembari menikmtai eloknya Indonesia yang makin terlihat disana.

Dan Butet Manurung, seperti menjadi salah satu sosok Kartini masa kini.

12 comments:

Iman Brotoseno said...

jadi ingat film iklan Kompas dahulu...

amircool said...

ternyata masih ada yang idealis..

Anonymous said...

makasih review bukunya...
jadi tertarik untuk membacanya...
sy jg sudah lama kagum dengan perjalanan hidup beliau

Trian Hendro A. said...

#Mas Iman: ya, memang dikatakan disana bahwa SR pernah difilmkan, tapi saya tidak tahu kalau itu Kompas (dan ditulis di buku itu, pembuatan film 'kurang manusiawi').

#Amir: idealis?? bukanya tiap orang harus idealis, entah sedikit-banyak.

#Fitra: bagusnya fitra baca sendiri,menarik karena mengalir ceritanya. met baca! :)

pyuriko said...

Peran Butet sama seperti peran saudara perempuan kembar yang mengajar sekolah di kolong jembatan stasiun kota... :D

Vina Revi said...

Thank you for the review. Jadi tau ada buku bagus ...

Unknown said...

Saya kagum dengan perempuan satu ini, satu dari sedikit perempuan yang berani mendobrak siklus kehidupan perempuan Indonesia pada umumnya.

Soal filmnya, bukannya yang dari kompas itu cuman iklan ya?

Anonymous said...

Trian,
Thanks infonya. Kapan2 kalau ke Gramed saya akan beli.

Ulya Raniarti said...

pleasure to read... :)

Anonymous said...

Saya kok justru tidak melihat sosok idealis pada diri butet. Yang saya tahu, awal karirnya dia bekerja di LSM WARSI, sebagai salah satu staff pendidikan OR disana. Bukan atas inisiatifnya sendiri.

Anonymous said...

saya pernah mengajar anak jalanan tetapi terhenti karena banyak halangan _alasan klasik ya karena ga ada waktu untuk ngurusin kuliah
sekarang kuliah da rampung
pengen sekali menjadi volunteer di sokola rimba
saya pengen tau alamat dan cara gimana saya bisa menghubungi butet?
terima kasih

Henny seftiani said...

wanita yg hebat, saya aja yang tinggal di jambi
Blum prnah sma skali mengunjungi orang rimba,
:)
Dua jmpol deh buat butet manurung