Tuesday, July 03, 2007

Edensor, titik balik Andrea?

Edensor, buku ketiga tetralogi Laskar Pelangi ini dimauli di bagian-bagian awal dengan review kehidupan Ikal di Belitong, bekerja di Bogor hingga kemudian mendapatkan pengumuman beasiswa dari Uni Eropa. Kemudian, perjalanan marangkai mozaik kehidupan di Eropa pun dimulai.

Merasakan pengalaman menyedihkan saat malam pertama di Eropa yang dingin menjadi awal yang mengesankan. Suasana kuliah science economi dengan karakter teman dari ragam bangsa berbeda menjadi bumbu menarik. Dan yang paling inspiratif, petualangan dahsyat berkeliling Eropa dan sedikit menyusur Afrika yang dilakukan Ikal dan Arai -yang menjadi taruhan bersama, adalah bagian terbesar dari kisah Edensor ini.

Seperti halnya Laskar Pelangi (LP) dan Sang Pemimpi (SP), banyaknya sajian metafor ilmiah memberi warna tersendiri novel Andrea ini. Andrea adalah seorang ekonom, tapi ketertarikannya pada fenomena-fenomena fisika, biologi dam astronomi tersaji kembali dalam Edensor, sekalipun tidak sebanyak SP apalagi LP. Tapi Edensor lebih dilengkapi beberapa gambar menarik misal impossible triangle-nya Oscar Reutersvärd. Dan pastinya, kelucuan serta warna cinta anak muda pun menjadi penyedap manis dalam novel ini.

Namun, jika LP punya Bu Mus, SP ada Pak Balia, maka Edensor praktis tak menambah daftar orang yang benar-benar sangat menginspirasi Ikal. Mungkin juga karena Edensor adalah ’rangkaian mozaik’ yang akhirnya mulai membentuk montase. Sorbonne, Andrea Galliano, Afrika dan beberapa lagi adalah montase yang tersusun dari mozaik masa lalu Ikal. Edensor sendiri, nama sebuah desa di pinggiran Sheffield yang terdeskripsi pada buku hadiah A Ling saat meninggalkan Ikal, akhirnya terwujud nyata dalam akhir novel ini.

***

Saya sebenarnya sangat tidak mempunyai ketertarikan besar untuk menulis tentang Edensor ini seperti halnya ketertarikan saya saat me-review LP dan SP. Satu, karena saya tidak merasakan euforia Edensor, sedang SP saya sangat merasakannya karena mendapatkan langsung SP dari Andrea di sebuah kafe di Bandung sebelum buku beredar. Kedua, saya sudah banyak mendapatkan review Edensor di beberapa blog, misal di koordinator IMB, tukang review tanzil, perca atau seorang kawan. Ketiga, beberapa pendapat menyebutkan Edensor tak lebih bermuatan dan lebih tipis daripada dua pendahulunya.

Tapi, rasa-rasanya menjadi ’kewajiban’ untuk mereview singkat (sangat singkat dibanding LP atau SP), sehingga tetralogi bisa terjalin disini. Selain itu, sebuah ’polemik’ tentang Edensor di sebuah milis sastra menjadikan saya semakin ’gatal’ jika tak ikut menulis tentangnya.

Polemik dibuka dengan artikel Jakob Sumarjo di kompas, dan sebagai narasumber diskusi Edensor offline di Bandung. Opini itu ’melawan arus’, ditengah banyak sastrawan yang memuji novel-novel tetralogi LP.

Ada dua alasan utama, mengapa Jakob Sumarjo ’mengkritisi’-nya. Pertama, alur waktu. Pembaca yang jeli akan menemukan kebingungan tentang alur waktu, SD-SMP-SMU yang dialami anak sekolahan ataupun gurunya. Yang paling terlihat, saat seorang anak cerdas SD yang mengenal banyak sekali pengetahuan diluar kemampuannya pada zamannya itu.

Kedua, logika cerita. Jika diamati lebih teliti, maka ada logika yang 'janggal' dalam novel ini. Saya menemukan dua yang nyata, yaitu saat Arai dan Ikal tiba di Bogor kemudian duduk di depan KFC, mereka tak tahu arti dalam indonesia Kentucky Fried Chicken, padahal Arai disebutkan sangat jago bahasa inggris (Sang Pemimpi). Lalu di Edensor seperti yang ditemukan juga
Hermawan Aksan, Ikal dan Arai dari Finlandia masuk ke Rusia timur untuk memulai petualangan yang akan berakhir di Rusia barat. Padahal Rusia yang berbatasan dengan Eropa tentu adalah Rusia barat.

Dari keduanya saya mengumpulkanya dalam alasan yang paling parah. Yaitu subyek Andrea-sebagai Ikal yang menggambarkan kondisi masa lampau (Ikal kecil-muda) dengan masa sekarang, apa yang ada dalam Ikal sekarang. Tentu itu hal yang sangat-sangat tidak wajar, dan penuh ilusi.

Seorang teman yang sedang membaca Edendor, ketika saya tunjukan beberapa kejanggalan diatas berontak dan mengatakan bahwa saya telah mengurangi sense­-nya dalam menikmati Edensor. Saya sepakat bahwa sebuah sastra dibuat untuk dinikmati. Dan tetralogi LP adalah sebuah fiksi realis, bersandar pada realita yang dibumbui sana-sini. Jadi bagaimanapun, unsur kewajaran sebenarnya juga sangat penting dalam sebuah fiksi realis.

Kritikan yang paling ’konstruktif’ ada di bagian akhir tulisan Jakob Sumardjo tersebut. Beliau sangat keberatan atas berbagai sanjungan dan pujian yang diberikan kepada Andrea dengan fenomena novel-novelnya. Terutama, beliau sangat keheranan ketika pujian berlebih itu datang dari sesama satrawan ’besar’ tanpa sedikitpun menunjukan titik lemah dari buku-buku tersebut.

Luar biasa, sebuah opini yang sangat bagus telah disampaikan Jakob Sumarjo. Saya pikir, opini tersebut seakan menjadi antitesis yang konstruktif bagi insan sastra, pembaca dan pastinya Andrea Hirata. Opini tersebut mewikili semangat anti kemapanan, untuk memberikan hasil yang lebih baik di masa depan. Ibaratnya, menggempur kembali bangunan yang sudah terlanjur tinggi namun keropos, untuk kembali mendirikan bangunan sastra yang tidak hanya tinggi tapi kokoh berisi.

Kemudian akhirnya saya mengambil kesimpulan, bahwa sebaiknya kita memang harus memilah jauh antara cerita dan logika jika kita hanya ingin benar-benar menikmati sastra, terbuai dengan alur cerita dan kata-kata indahnya. Tapi bukan kesalahan jika kita bisa, untuk selalu kritis terhadap apapun yang terbaca.

***

Andrea Hirata sendiri, orang yang (dulu) saya kenal cukup dekat, sejak kehebohan LP cs telah menjadi selebritas baru. Sebutan pamoritas, sudah mulai disematkan beberapa orang ke Andrea dan bukunya. Terlepas dari profesionalitas, sejam seorang Andrea berbicara kini sudah bertarif n juta rupiah dengan diatur suatu manajemen modern. Padahal dulu, saya mengajaknya duduk lesehan di sebuah labtek kampus untuk diskusi LP yang pastinya free of fee.

Waktunya pun mungkin lebih sibuk, weekend di diskusi sana-sini. Padahal dulu sering hampir setiap waktu saya (atau dia) sms, kami pun tak berapa lama bisa bertemu. Di cafe, koridor masjid kampus, kantin, jalanan, masuk kantornya di telkom atau bahkan di rumah kontrakan mungil saya.

Yang ditakutkan oleh pekerja seni tentang popularitas adalah cobaan ’kreativitas’, kualitas-lah yang akhirnya menjadi korban. Beberapa opini mumcul bahwa Edensor banyak dinilai ’kurang greget’ dibandingkan Sang Pemimpi, dan makin jauh lagi daripada Laskar Pelangi. Buku, bagaimanapun tetap mempertimbangkan hukum pasar, keberterimaan buku di pasar. Apalagi hanya sekedar ’mendompleng’ succes story edisi-edisi sebelumnya untuk mendongkrak penjualan.

Tapi saya pribadi masih yakin, sosok Andrea tetaplah hangat dan ramah sekalipun saya jarang lagi bertemu dengannya. Selalu punya perhatian spesial kepada setiap teman-temannya sehingga temannya bisa merasakan pada waktu tertentu, seolah-olah Andrea hanya perhatian padanya.

Hingga suatu petang hari saya terakhir bertemu dengannya, di sebuah toko buku komunitas dengan dikelilingi persiapan milad sebuah parpol di luar kami sekitar satu setengah bulan lalu, saya masih menemukan kehangatan disana. Kalimat yang saya ingat darinya: jangan melepaskan nuri di tangan sebelum rajawali di angkasa diraih.

Dan hari ini saya berharap, Andrea tetaplah seorang teman yang baik dan inspiratif. Semoga.

16 comments:

uNisA said...

sebentar, tulisan ini cukup panjang. Karena itu ini adalah komen pra-reading...

*to be continued

-unisa

uNisA said...

ok deh, aku beli bukunya, apalagi melihat semangat resensi ini yang luar biasa !!
*maaf komen saya kurang bermutu*

Anyway, kritik terhadap karya sastra mestinya seimbang (tidak memuji-muji sahaja), karena kritik yang konstruktif dari 'luar' mestinya 'mengezutkan' seorang penulis tentang aspek2 yang mungkin terlewat olehnya dalam keterlenaannya membangun dunia sendiri ketika merangkai kata demi kata.

justru saya suka kasian kalau membaca 'resensi' sebuah karya sastra yang isinya muji2 setinggi langit... kasian sama penulisnya.. bisa hilang keinginan lebih menggali potensi (ampun deh, ini komentar sok tau banget yak??)

gitu aja deh, saya tunggu novel terbaru pak trian...

Katakecil said...

yang jelas ni buku udah menjawab rasa penasaran saya:
asal usul nama "Andrea Hirata"

jadi menunggu-nunggu buku ke empatnya :)

Unknown said...

saya belum pernah baca baik LP, SP maupun E, tahu ada ketiga buku itu juga ketika baca reviewnya JS di Kompas...

salam kenal mas Trian, saya baru pertama singgah.

pyuriko said...

Kemarin hunting, gak nemu buku ini.. katanya sedang cetak ulang, hikkkzzz...

Okky Madasari said...

pas ke toko buku beberapa hari lalu, pingin banget beli buku ini...tapi ga jadi, cos takpikir2 aku mesti baca buku pertama dulu, laskar pelangi. Tapi sayang,LP dah habis...

Anonymous said...

Gara2 tulisan pak Jacob Sumarjo, saya jadi beli buku karangan Andrea Hirata, tapi baru dapat LP dan Edensor. Bacanya baru mulai, tapi saya menemukan kejanggalan yang dikemukakan pak Jacob. Semoga kritik ini membuat Andrea menulis lebih baik...bandingkan dengan buku "To kill a mockingbirds" yang mendapat Pulitzer...disitu penggambaran anak kecilnya sangat pas...membuat saya ingin baca...dan baca lagi. Bahasa Andrea bagus, kekurangannya adalah dia membawakan pikiran dia (saat ini) pada pikiran saat masih anak-anak...jadi sangat janggal. Tapi saya akan mencoba tetap meneruskan membaca...

Sama seperti buku "Larung" walaupun menang, juga menuai kritikan, karena ada beberapa tempat yang kurang pas penggambarannya. Kelemahan penulis Indonesia adalah kurang survey (mungkin karena waktu terbatas??)...

Bandingkan buku karangan Michael Crichton...dia benar2 meneliti, survey dulu, sehingga saat menulis buku, benar2 memahami situasi dan teknisnya....contohnya "airframe" ..disini Michael Crichton (yg latar belakangnya dokter) bisa menulis tentang pesawat terbang secara detail, tentang "flap" dan kemungkinan penyebab terjadinya kondisi darurat pesawat tsb.

Saya mengkritik Andrea, tapi saya berharap Andrea tetap menulis lagi dengan lebih hati-hati, karena saya melihat dia punya potensi untuk menulis lebih bagus.

Kapan Trian menulis? kalau melihat blogmu, kayaknya berbakat....

Anonymous said...

Dulu sempat kepingin beli buku2 tetralogi ini tapi gak jadi-jadi karena gak punya duit :P

Tapi setelah baca artikel di kompas itu, malah jadi kehilangan minat. Gimana dong?

Cempluk Story said...

wah cempluk belum pernah baca buku ini..cari ah, trus baca..

Rachmawati said...

Doooh, ada yah buku-buku itu???
heuheuheu
[Rachma asa jadi alien kieu, ketinggalan berita pisan keknya, :P]
Pas diinget-inget lagi... hoo, paling gak ada satu ... Rachma cuma pernah liat laskar pelangi (itu pun sampulnya ajah, buka-buka dikit, dan tak jadi minjem). Lupa juga kenapa tak jadi, waktu itu lagi gak mood baca meureun.
keep reviewing ;).
*Lirik word verifikasi di bawah: uzwah... kok jadi keingetan apa gitu... :-/

Trian Hendro A. said...

#mbak isnuansa: salam kenal balik, blog anda menarik dan saya mulai ketagihan. :)

#bu enny: ya bu, dari dulu udah mau nulis tapi masih saja belum kongkrit.menulis kumpulan cerpen sebagai tahap awal jika sebuah novel terlalu sulit, itu kata Andrea pada saya. bu enny mau bantu?? hehe

#rachma: wah, sayang ma kamu seharusnya baca Edensor yang ada cerita backpacking keliling Europe, mumpung masih disana.. hayoo, mau buru2 apa pulang ke indo??:D

agung said...

humm gt ya?
Ga jadi beli deh..
Mending chronicle of narnia-nya catuy yg lagi banting harga =)

Galuh S Indraprahasta said...

Dari awal saya suka bukunya. Huff belum kesempatan ketemu orangnya

Anonymous said...

halo, salam kenal
saya setuju kalau novel novel Andrea Hirata mampu memberi pencerahan yang luar biasa, tapi saya juga sependapat dengan beberapa bagian kritik sastra dari Pak jacob di Kompas......buku buku andrea tidak secara khusus memperhatikan kronologis waktu, semuanya campur aduk, sehingga pembaca yang jeli pasti merasa bingung.
contohnya saya pribadi malah bertanya-tanya soal keberadaan Arai, dikatakan Arai diangkat saat kelas 3 SD, seharusnya saat itu kehadirannya ada di kenangan masa SD laskar pelangi, kenapa Arai tiba tiba muncul dan dikatakan sejak lama ia menjadi partner of crime nya ikal, sejak lama nya sejak kapan? dimana Arai bersekolah sementara ikal di SD Muhammadiyah
hehehe.....

tapi tidak bisa dipungkiri, andrea hirata dan kenangan masa kecilnya serasa obor dalam kegelapan, sanggup membangkitkan semangat banyak orang

semoga makin banyak karya karya bung andrea hirata......
salam kenal untuk Trian

Gee said...

Hhhhmmm.....buku laskar pelangi dahsyat abiss...

Terlepas dari ketidak runutan alur ceritanya yang kadang memang seperti tumpang tindih...
Tapi, mungkin itu kekhasannya, tidak runut tidak berarti tidak bagus...yang penting valuenya nendang banget...

Thanks
Gita
diggorygass@yahoo.com

Unknown said...

Yang janggal memang ada.

Seperti halnya jaman milenia dia berkata. Tetapi berkirimn surat dengan belitong, pensiun ayah 87.000. Seperti pensiun orang tahun 90 an atau malah 80 an.