Thursday, February 15, 2007

menulis sejarah

Membuat tulisan sejarah adalah sebuah tantangan. Bukan semata sebuah upaya untuk melawan lupa, karena sejarah sendiri selalu disikapi dengan dengan melupakan sekaligus mengingatnya. Tdak semua yang hitam harus dilupakan, pun tidak semua yang putih senantiasa diingat. Sejarah sebagai estafet antar generasi seharusnya tetap bisa menyajikan lanskap hitam-putih dalam sebuah nada harmonika sejarah

Jika penulisan sejarah identik dengan sumber, maka keberadaan pelaku-pelaku sejarah kunci tidak berarti memudahkan untuk membuat menuskrip peta perjalanan sebuah sejarah. Karena kemudian kita akan masuk dalam dua hal yang sangat ringkih.

Pertama, adalah menentukan, menggabungkan, memilah, dan mengkritisi dari semua yang berhasil dikumpulkan, mulai dari buku, wawancara hingga penelusuran. Bukan pekerjaan mudah. Bagi kami, kian terasa betapa pekerjaan manusia semacam Imam Bukhari, Muslim, Ahmad adalah pekerjaan maha sulit yang luar biasa untuk menyusun Hadits Rasulullah yang sudah beratus tahun berlalu.

Kedua, adalah lebih dalam untuk proses penyusunan itu sendiri. Karena keberadaan pelaku-pelaku sejarah, maka tidak ada cara yang lebih baik selain dengan mengumpulkan serpihan cerita pelaku-pelaku tersebut atas peristiwa sejarah.

Jika sudah masuk kategori cerita, maka sudah sangat tipis batasan antara cerita sejarah atau sejarah yang bercerita. Cerita sejarah seperti halnya kita membaca sebuah kumpulan sejarah-sejarah biasa, tidak ada sebuah ikatan khusus yang lebih emosional untuk mengungkap lika-liku sebuah peristiwa. Sedangkan sejarah yang bercerita, manusia pelaku sejarah lah yang menjadi subyek. Sehingga sebuah peristiwa bisa mempunyai dua, tiga atau lebih sudut pandang dan suasana psikologis yang berbeda. Bergantung pada berapa sudut sumber yang dielaborasikan.

Lalu, penyusunan sejarah itu sendiri sudah masuk dalam ranah yang melebar dari yang diperkirakan. Antara sejarah dan cerita. Jika sejarah adalah ilmu dan wawasan, maka cerita adalah seni dan romantika.

Membayangkan sejarah sebagai ilmu dan wawasan seperti halnya kita membaca sebuah teks buku sejarah biasa. Minim interpretasi. Monoton karena sangat diusahakan selalu dalam lokus kebenaran. Berbeda dengan membaca sejarah dalam sudut pandang seorang pelaku sejarah, atau sebuah cerita. Maka imajinasi dan kreativitas untuk menelaah dan mengkritisi sejarah terbuka lebih lebar. Ditambah lagi kecenderungan manusia untuk bercerita atau mendengar cerita. Tapi, jebakan terhadap sempitnya pengambilan sudut atau sisi romantiknya yang meluap bisa menjadikan sejarah berubah menjadi dongeng siang hari.

Walaupun memang, kendala terbesar dalam menuliskan sebuah sejarah adalah tarikan kuat antara obyektifitas dan subyektifitas. Apalagi bila sejarah selalu diindentikan untuk menjadi milik pemenang. Padahal, dua kutub tersebut tidaklah mati dan berhenti dalam sebuah kebuntuan statis. Obyektivitas memang lebih didengungkan untuk selalu memimpin dalam penulisan sejarah. Namun subyektivitas-lah yang sebenarnya menjadikan sejarah hidup dalam ruang dan waktu yang dinamis.

Di sisi yang lain, jika sejarah selalu ditempatkan dalam lokus yang ideal, sebuah perisiwa yang benar-benar terjadi, justru sejarah itu sendiri telah kehilangan élan vitalnya, yaitu menjadi guru dalam kehidupan manusia. Sehingga memang, kemampuan penulisan sejarah untuk menyentuh dua sisi keping tersebut secara proporsional dan elegan adalah niscaya.

-sebuah pengantar-

3 comments:

Iman Brotoseno said...

sejarah di Indonesia selalu dalam posisi berbenturan dengan kepentingan pihak yang berkuasa..sehingga kita sendiri tidak yakin dengan sejarah bangsa sendiri.

Anonymous said...

hey.. thanks for visiting my blog :)

nice blog!

Trian Hendro A. said...

#Mas Iman : gimana kalo buat sejarah tandingan mas? at least a film for instance.

#Hei Amel.. :)