Tiba-tiba saja kau menyapaku, aku tak kenal kau sebelumnya. Mungkin tahu, tapi hanya tahu dan berlalu. Tapi, dimana juga kita pernah bertemu? Di boulevard, gedung kuliah, laboratorium atau dimana aku tak ingat. Atau tak mau bersusah mengingat persisnya.
Orang lain memanggilku Dina, Tania Ramadina. Tapi kau panggil aku Nia. Terserah, aku tak mau tahu. Menurutku biasa saja ketika orang mengajak kenalan, lalu kemudian berteman seperti biasa. Tapi aku tak mau memanggil namamu, itu bukan biasaku.
Tapi, kenapa juga mengajak ku kenalan? Tidak adakah orang lain? Makin lama berbicara denganmu, aku sendiri merasa nyaman. Biasa. Sedikit demi sedikit, keluar juga semua ekspresi kita. Tiba-tiba saja tersenyum, tertawa, mengejek atau apapun itu. Pun aku masih menganggapnya biasa, walaupun jujur, belum ada laki-laki yang bisa berbicara sedemikian ’dekat’ seperti mu.
Tiba-tiba saja, kita berbicara tentang aktivitas atau kesibukan dan lain-lain. Ada saja yang bisa dibicarakan saat-saat pertama itu. Kau tanya apa cita-citaku hingga apakah aku suka seni (padahal kau hanya mau meminta-ku untuk merapikan sebuah tulisan). Aku bilang, kadang-kadang bermain musik. Pfughh..untung kau tidak minta aku memainkan sesuatu untukmu.
Kau yang banyak bertanya. Benar. Kau yang banyak bertanya. Sebentar. Tapi, kadang-kadang aku pula yang memulai pembicaraan. Aku bilang, kau melankolis. Kau cuma tersenyum mengiyakan dan bilang bahwa orang melankolis biasanya rapi dan detil. Hmmm, mulai tersindir dengan kerapian.
Kau sangat memperhatikan hal detil pekerjaan domestik (kau yang mengungkapnya bukan?). Tentang mencuci, setrika dan memasak. Karuan saja, kaum hawa bisa malu-malu kalau kau bilang bahwa kaum perempuan harus bisa masak. Termasuk diriku. Seakan-akan kau menyadarkan perempuan untuk bisa mengurus pekerjaan rumah (tapi kau sendiri justru lebih terbiasa melakukannya). Hei.. tentang ini kau pernah meledekku. Kau bilang, ”saking pintarnya masak hingga tak pernah masak.” Dasar!
Lalu apa lagi, kau memberikanku sebuah kepercayaan untuk membantu. Aneh. Kenapa aku yang tak sangat bisa dan tak biasa? Tapi aku terima juga, sekalian melakukan hal yang baru. Pernah saat mencoba sesuatu, kau kirimi aku sebuah puisi. Sempat heran, kenapa hal itu yang kau kirim. Dua puisi, satu yang isinya tentang aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dan yang kedua tentang sekolah bukan kandang ayam. Ada-ada saja kau ini.
Kita pernah menyoal tentang pengkhianatan. Suatu malam, ya..pada sebuah malam. Aku tak mengerti awalnya. Yang jelas kau menggangu jadwal tidurku. Namun, begitu aku paham betapa sakitnya orang karena dikhianati sekalipun aku tak merasakannya, itu sudah cukup. Aku tak mau mencoba sakitnya. Sudah cukup sesak dada merasa mengkhianatimu.
Katamu, bukankah sebuah kepercayaan itu mahal? Benar, saat itu aku tak merasa pantas menjadi temanmu. ”Dalam doa, aku memohon supaya kau diberikan 1000 teman baru yang lebih baik”. Kau memberi pelajaran berharga lagi. Tapi pagi-pagi sekali kau malah mengetuk jendelaku dan berkata, ”hei.. lihat pagi ini begitu cerah. Tak baik bermuram diri..”
Kemudian lama kita tak bicara, sangat lama. Merasa ada hal yang kurang. Kangen. Ups...ada apa ini. Sudahlah. Tak boleh terjadi.
Hingga kemudian sebuah pesan masuk, ”Bolehkah laki-laki....”
Bingung juga. Sedang apa dirimu. Tapi ada pesan lagi masuk, ”maaf salah kirim...”. hmm, aku tak percaya kau salah kirim. Karena saat aku jawab, ”..ga papa.” , dan kau balas lagi dengan pesan lanjutan lainnya. Bilang saja, kau tak salah kirim. Itu bohongmu pertama. Tapi kau mungkin juga ingin menjaga diri.
Lalu kita berbicang lagi, sangat lama. Seperti ada yang kembali lagi di hidupku. Kau akhirnya jujur tentang pesan itu, sebenarnya bukan salah kirim. Aku bilang juga, sudah kuduga. Lalu kau memberiku semua pesan yang diberikan oleh sahabatmu yang lain. Ternyata, kau hanya mengirim pesan itu pada dua orang. Aku salah satunya, sekalipun kau ‘meralatnya’. Aneh. Kenapa diriku? Berkali-kali aku tanya itu.
Tapi tetap kau tak pernah mampu menjawab tuntas. Seakan kau menyembunyikan sesuatu. Aku penasaran, tapi sekali lagi aku tak mau sulit. Tak suka berdebat. Jika dibilang aku curiga, benar aku curiga denganmu. Tapi, sebenarnya aku sendiri juga tak ingin berbohong. Kau memang unik.
Lihat saja, suatu saat kau panggil aku ”anak manja”. Sembarangan. Belum ada orang yang sampai memanggilku seperti itu. Mana ada orang yang mau dipanggil manja? Tapi kau sebutkan buktinya. Dalam hati membenarkan. Tapi kau memang benar-benar keterlaluan. Itu malah jadi semacam ’olokanmu’ padaku (atau panggilan khusus darimu?). Karuan saja, jika kau menyebutkan itu aku bilang, ”you mentioned it!”
Tapi kita tak selalu berbincang saat ketemu, entah sesaat atau lama. Hingga sekarang. Mengatur ritme atau memang saling tunggu? Tak ada yang memulai sebuah percakapan baru. Bertemu, dingin. Aneh.
Apa karena aku tak pernah memanggil namamu? Kau sempat protes, ketika kupanggil situ. Kau bilang sambil bercanda, ”emang kaya tukang parkir, sini situ. Menunjuk arah..”. Ya, karena aku sangat jarang memanggil nama laki-laki, maka kuganti ’kamu’. Mungkin suatu saat nanti, akan kupanggil namamu.
Atau jangan-jangan kita tak pernah tahu lebih jelas? Tapi kau sebutkan pernah bertemu denganku dulu, saat aku sedang berjalan menuju pulang. Kau juga bilang hijau, lalu pink atau kau sebutkan warna biru dan coklat? Kamu memperhatikan juga ternyata. Jadi tak mungkin kalau tak tahu. Itu bohongmu kedua.
Kau katakan, bahwa membaca buku bukan pekerjaan orang yang terlalu banyak waktu. Membaca cerita, seperti halnya sabar terhadap cerita seseorang. Belajar kehidupan, katamu. Lalu kau meminjamkan (atau memberi?) ku sesuatu. Aku pun akhirnya mulai belajar untuk menulis, memang beda. Bisa menulis semua yang kita rasakan.
Lalu kau pernah katakan bahwa menyapa adalah keramahan. Hampir saja kita berbicara di saat makan itu. Entah bagaimana perasaanmu saat itu. Aku bingung, hingga untuk minum pun aku rela berdiri demi menghindarimu. Kau juga pernah bilang, bahwa manusia betapa hebatnya dia pada dasarnya suka pada seseorang yang membuatnya simpatik, perhatian dan lainnya. Tapi semua harus dijaga. Seperti kata Arai, teman Ikal (Sang Pemimpi), kita tak boleh mendahului nasib.
Kau memang menarik. Disaat tertentu, kau bak pujangga perangkai kata. Kau menuduh, ”perempuan tak punya jiwa!”. Tak mungkin. Ku balas, ”perempuan punya jiwa yang berbeda”. Jawaban cerdas katamu. Kau mungkin bisa menjadikanku seorang dewi, sekalipun kau bukan seorang dewa. Bukan seorang dewa, sesuatu yang pernah kau ungkapkan.
Lalu kau menjelma menjadi tukang hikmah. Banyak pelajaran, inspirasi yang kudapat dengan bergaul denganmu. Tapi tiba-tiba kau bisa jungkir balik menjadi orang yang lemah, terjatuh hebat, seolah butuh uluran tangan. Atau bahkan menjadi orang yang hidup dengan segenap pernik modernitasnya. Lengkap, sekaligus kekuranganmu. Pernah aku sangat senang bicara dengannya, mengajak berpikir dalam, tapi kadang membuat jengkel, atau heran terhadap sikapnya. Betapa tipis, semua rasa-rasa itu.
Aku ingin orang yang menjadi teman hidupku, bukan hanya yang pandai memuja diriku, tapi juga yang lebih utama memuja diriNYA. Yang bisa memimpin dan membimbingku. Terlalu idealkah itu? Manusia boleh berharap. Aku sendiri mungkin tak pernah bisa membantumu saat-saat kau benar-benar sangat butuh uluran.
Kau senang untuk saling berbicara tentang cita-cita. Berbagi mimpi, katamu. Terakhir, kau tunjuk sebuah daratan di seberang jauh. Sebuah daratan biru. Sepertinya kau ingin sekali kesana. Aku pun ingin sangat. Selebihnya, aku tak tahu apa maksudmu. Terlalu banyak yang tak kumengerti darimu. Tapi aku juga takut, saat kau terlalu dekat denganku.
Aku tak tahu kini harus seperti apa kepadamu. Aku sendiri bingung terhadap perasaanku. Tapi aku justru yakin akan perasaanmu. Bagaimana bisa? Kau yang bisa menjawabnya sendiri. Semoga benar.
dalam waktu beranjak dewasa
-sebuah fiksi realis-