Mengapa irak yang konon "digdaya" jatuh ke pangkuan Amerika Serikat hanya dalam hitungan hari? Bukan bulan atau tahun seperti yang didongengkan petinggi-petinggi Irak. Kemana Saddam Husein? “Saddam sedang sibuk menulis sebuah Novel”, kata Tariq Azis salah satu deputi perdana menteri iraq saat itu. Dan bahkan baru selesai sehari sebelum Baghdad jatuh., kemudian softcopy dilarikan putrinya ke luar negeri. Saddam tampaknya sadar, bahwa perlawananan dengan senjatanya akan cepat usai, maka begoreslah penanya untuk tetap ‘melawan’ dominasi negara asing terhadap suatu negara berdaulat.
Tulisan diatas adalah pengantar novel Saddam terakhir. Ya, Saddam Husein menulis novel. Sudah tiga novel yang dihasilkannya. Terbaru seperti yang usai saya baca, “Tarian Setan”. Setelah usai membaca, maka dalam hati saya bergumam, “Saddam adalah pemimpin besar, terlepas begitu jahatnya dia memimpin, tapi dia bukan sastrawan!” ikut membenarkan beberapa kesan yang ditulis di pengantar buku tersebut.
Sebuah kesan yang menjadikan saya skeptis terhadap orang-orang tenar yang kemudian menulid buku, terutama karya sastra (sempat sementara tertepis dengan Rieke ‘oneng’ dalam cerpennya “Lintang”, Kompas 7 Januari 2007).
‘Untungnya’ Sayyid Qutb menulis karya sastra dulu sebelum dia lebih terkenal karena afiliasinya gerakan Ikhwanul Muslimin. Pekan lalu, novel Sayyid Qutb ‘Bidadari yang Hilang’ (terima kasih kepada teman yang meminjamkan) saya babat hanya 2 kali baca di malam hari, menyamai rekor membaca ‘Sang Pemimpi’.
Sayyid Qutb luar biasa. Ceritanya dalam menunjukan kecamuknya batin tokoh utama tidak hanya ‘sampai’ di teras rumah, tapi masuk hingga dapurnya. Mengharu biru, kejam dan menyayat hati! Jika tak kuat, maka bersiaplah tisu di sebelah. (bahkan konon teman yang meminjamkan tidak cukup ‘berani’ menyelesaikan bacaannya). Setelah selesai membacanya, saya berpikir “apakah ini yang menyebabkan Sayid Qutb tak pernah menikah?”
Selain buku diatas, ada dua bacaan yang kuhabiskan dalam waktu dekat ini. “Hari yang Dijanjikan” Najeb Qaelany, menjelang akir tahun. Tentang pengorbanan, harga diri, dan cinta. Settingnya dunia Arab khususnya mesir saat menghadapi perang salib VII. Sebuah fiksi realis. Meminjam istilah kritikus film yang banyak dibajak, “Two Thums Up!”.
Satu lagi menjelang Natal lalu, sebuah buku ‘nakal’. “Setan menggugat Tuhannya” (pinjaman dari seorang sahabat). Jika tak cukup punya logika dan sikap defensif, siapkanlah tameng untuk mengadapi gempuran keimanan atas langkah setan yang ‘memerosokkan’ Adam lalu dia dilaknat. Dalam pledoi, setan berkata, “Justru akulah hamba Allah sejati. Tak mau aku menyembah Adam, aku hanya menyembah-NYA.” Lalu katanya lagi, “Dan dengan tindakanku menggoda manusia, maka akulah sarana manusia menuju penghambaan sesunguhnya. Akulah sarana ketakwaaan!”
Satu lagi menjelang Natal lalu, sebuah buku ‘nakal’. “Setan menggugat Tuhannya” (pinjaman dari seorang sahabat). Jika tak cukup punya logika dan sikap defensif, siapkanlah tameng untuk mengadapi gempuran keimanan atas langkah setan yang ‘memerosokkan’ Adam lalu dia dilaknat. Dalam pledoi, setan berkata, “Justru akulah hamba Allah sejati. Tak mau aku menyembah Adam, aku hanya menyembah-NYA.” Lalu katanya lagi, “Dan dengan tindakanku menggoda manusia, maka akulah sarana manusia menuju penghambaan sesunguhnya. Akulah sarana ketakwaaan!”
Lalu awal pekan ini saat (akhirnya) ke bandung pp dalam < 24 jam, untuk sesuatu bentuk komitmen, lalu kembali memburu buku awal tahun yang sempat lewat pekan sebelumnya.”Yang berjatuhan di jalan Dakwah”, buku Fathi Yakan, me-refresh kembali isinya yang sempat terbaca di masa kuliah dulu, dan pastinya lebih mengokohkan pondasi yang ada.
Tapi buku ‘nakal’ yang sempat tertahan pekan sebelumnya akhirnya masuk tas juga. “Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur!, memoar luka Seorang Muslimah”, Muhidin Dahlan. Sempat heran, buku 2005 dan sudah cetak ke-10, kemana aja ini. Konon buku ini kontroversi saat peluncurannya. Disamping sang penulis yang relatif berada di jalur anti kemapanan lewat buku-buknya (Kabar Buruk dari Langit, Adam Hawa, Jalan Sunyi Seorang Penulis). Tapi, selalu saja menarik untuk membaca kisah-kisah nyata yang dibukukan tentang “tragedi ke-perempuan”. Salah satunya,"Forbidden Face”, kisah dipuruknya peran wanita di rezim Taliban, Afganistan.
Buku Muhidin ini berani, dan menantang. Memoar tentang perjalanan wanita dalam berislam di sebuah Perguruan Tinggi Jogja (lagi-lagi, kampus memang taman bersemainya gerakan-gerakan islam). Sebuah pencarian setelah merasakan kesejukan dan keteduhan yang dilihatnya dari wajah-wajah ukhti (sebutan aktivis islam perempuan) di sebuah pengajian di Masjid Tarbiyah, dekat sebuah kampus (mengenai nama, semua dikhiaskan sekalipun kita bisa menebak-nebak).
Tapi dia tidak ‘bergabung’ dengan ‘kelompok kajian’ tersebut, karena sahabat sekaligus yang mengajaknya datang tersebut, harus pulang ke Bandung. Kemudian, lewat aktivitas kajian islam yang diinisiasi di kampusnya dan interaksi dengan seorang ‘agen’, masuklah ia ke dalam gerakan islam yang bercita-cita membentuk daulah islam indonesia, memba’iat dan menyuruhnya ‘hijrah’.
Sayang, suasana militan dan sufistik yang dirindukannya saat bergabung tak ditemukan di dalam tubuh gerakan. Kritisme tak bisa terjawab. Seakan-akan, Tuhan tak mau menjawab keluhannya. Akirnya, pergilah ia dari genggaman jamaah dan rela dicap pengkhianat (walaupun dia menganggap, jamaahlah yang mengkhianati pengabdiannya).
Sebuah kekecewaan, yang membuatnya merasa muak dengan semuanya terutama agama. Dia jatuhkan diri dalam kubang paling hitam, obat dan free-sex. “Aku adalah jalang, banyak pria yang mencicipi tubuhku”, sebuah pengakuan darinya. Pria, menurutnya adalah manifestasi kemunafikan. Setiap ‘berhubungan’ dengan pria (mulai teman, hingga yang mengaku sebagai aktivis islam!), tak ada sesal atau rasa dosa. Dia ingin menunjukan pemberontakan paling nyata kepada Tuhannya. Sang Putri Api, begitu dia menyebut.
Terlepas kontroversinya (yang tak sempat kuikuti), buku ini seolah menyajikan realitas sisi lain. Akan menyudutkan pandangan orang terhadap eksistensi gerakan islam yang marak. Tapi buku ini seolah potret, sekaligus bisa menjadi sebuah muhasabah (refleksi) para aktivis islam sendiri. Seperti pengantar penulisnya mengutip sebuah puisi, melalui dosa kita bisa dewasa.
Tulisan diatas adalah pengantar novel Saddam terakhir. Ya, Saddam Husein menulis novel. Sudah tiga novel yang dihasilkannya. Terbaru seperti yang usai saya baca, “Tarian Setan”. Setelah usai membaca, maka dalam hati saya bergumam, “Saddam adalah pemimpin besar, terlepas begitu jahatnya dia memimpin, tapi dia bukan sastrawan!” ikut membenarkan beberapa kesan yang ditulis di pengantar buku tersebut.
Sebuah kesan yang menjadikan saya skeptis terhadap orang-orang tenar yang kemudian menulid buku, terutama karya sastra (sempat sementara tertepis dengan Rieke ‘oneng’ dalam cerpennya “Lintang”, Kompas 7 Januari 2007).
‘Untungnya’ Sayyid Qutb menulis karya sastra dulu sebelum dia lebih terkenal karena afiliasinya gerakan Ikhwanul Muslimin. Pekan lalu, novel Sayyid Qutb ‘Bidadari yang Hilang’ (terima kasih kepada teman yang meminjamkan) saya babat hanya 2 kali baca di malam hari, menyamai rekor membaca ‘Sang Pemimpi’.
Sayyid Qutb luar biasa. Ceritanya dalam menunjukan kecamuknya batin tokoh utama tidak hanya ‘sampai’ di teras rumah, tapi masuk hingga dapurnya. Mengharu biru, kejam dan menyayat hati! Jika tak kuat, maka bersiaplah tisu di sebelah. (bahkan konon teman yang meminjamkan tidak cukup ‘berani’ menyelesaikan bacaannya). Setelah selesai membacanya, saya berpikir “apakah ini yang menyebabkan Sayid Qutb tak pernah menikah?”
Selain buku diatas, ada dua bacaan yang kuhabiskan dalam waktu dekat ini. “Hari yang Dijanjikan” Najeb Qaelany, menjelang akir tahun. Tentang pengorbanan, harga diri, dan cinta. Settingnya dunia Arab khususnya mesir saat menghadapi perang salib VII. Sebuah fiksi realis. Meminjam istilah kritikus film yang banyak dibajak, “Two Thums Up!”.
Satu lagi menjelang Natal lalu, sebuah buku ‘nakal’. “Setan menggugat Tuhannya” (pinjaman dari seorang sahabat). Jika tak cukup punya logika dan sikap defensif, siapkanlah tameng untuk mengadapi gempuran keimanan atas langkah setan yang ‘memerosokkan’ Adam lalu dia dilaknat. Dalam pledoi, setan berkata, “Justru akulah hamba Allah sejati. Tak mau aku menyembah Adam, aku hanya menyembah-NYA.” Lalu katanya lagi, “Dan dengan tindakanku menggoda manusia, maka akulah sarana manusia menuju penghambaan sesunguhnya. Akulah sarana ketakwaaan!”
Satu lagi menjelang Natal lalu, sebuah buku ‘nakal’. “Setan menggugat Tuhannya” (pinjaman dari seorang sahabat). Jika tak cukup punya logika dan sikap defensif, siapkanlah tameng untuk mengadapi gempuran keimanan atas langkah setan yang ‘memerosokkan’ Adam lalu dia dilaknat. Dalam pledoi, setan berkata, “Justru akulah hamba Allah sejati. Tak mau aku menyembah Adam, aku hanya menyembah-NYA.” Lalu katanya lagi, “Dan dengan tindakanku menggoda manusia, maka akulah sarana manusia menuju penghambaan sesunguhnya. Akulah sarana ketakwaaan!”
Lalu awal pekan ini saat (akhirnya) ke bandung pp dalam < 24 jam, untuk sesuatu bentuk komitmen, lalu kembali memburu buku awal tahun yang sempat lewat pekan sebelumnya.”Yang berjatuhan di jalan Dakwah”, buku Fathi Yakan, me-refresh kembali isinya yang sempat terbaca di masa kuliah dulu, dan pastinya lebih mengokohkan pondasi yang ada.
Tapi buku ‘nakal’ yang sempat tertahan pekan sebelumnya akhirnya masuk tas juga. “Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur!, memoar luka Seorang Muslimah”, Muhidin Dahlan. Sempat heran, buku 2005 dan sudah cetak ke-10, kemana aja ini. Konon buku ini kontroversi saat peluncurannya. Disamping sang penulis yang relatif berada di jalur anti kemapanan lewat buku-buknya (Kabar Buruk dari Langit, Adam Hawa, Jalan Sunyi Seorang Penulis). Tapi, selalu saja menarik untuk membaca kisah-kisah nyata yang dibukukan tentang “tragedi ke-perempuan”. Salah satunya,"Forbidden Face”, kisah dipuruknya peran wanita di rezim Taliban, Afganistan.
Buku Muhidin ini berani, dan menantang. Memoar tentang perjalanan wanita dalam berislam di sebuah Perguruan Tinggi Jogja (lagi-lagi, kampus memang taman bersemainya gerakan-gerakan islam). Sebuah pencarian setelah merasakan kesejukan dan keteduhan yang dilihatnya dari wajah-wajah ukhti (sebutan aktivis islam perempuan) di sebuah pengajian di Masjid Tarbiyah, dekat sebuah kampus (mengenai nama, semua dikhiaskan sekalipun kita bisa menebak-nebak).
Tapi dia tidak ‘bergabung’ dengan ‘kelompok kajian’ tersebut, karena sahabat sekaligus yang mengajaknya datang tersebut, harus pulang ke Bandung. Kemudian, lewat aktivitas kajian islam yang diinisiasi di kampusnya dan interaksi dengan seorang ‘agen’, masuklah ia ke dalam gerakan islam yang bercita-cita membentuk daulah islam indonesia, memba’iat dan menyuruhnya ‘hijrah’.
Sayang, suasana militan dan sufistik yang dirindukannya saat bergabung tak ditemukan di dalam tubuh gerakan. Kritisme tak bisa terjawab. Seakan-akan, Tuhan tak mau menjawab keluhannya. Akirnya, pergilah ia dari genggaman jamaah dan rela dicap pengkhianat (walaupun dia menganggap, jamaahlah yang mengkhianati pengabdiannya).
Sebuah kekecewaan, yang membuatnya merasa muak dengan semuanya terutama agama. Dia jatuhkan diri dalam kubang paling hitam, obat dan free-sex. “Aku adalah jalang, banyak pria yang mencicipi tubuhku”, sebuah pengakuan darinya. Pria, menurutnya adalah manifestasi kemunafikan. Setiap ‘berhubungan’ dengan pria (mulai teman, hingga yang mengaku sebagai aktivis islam!), tak ada sesal atau rasa dosa. Dia ingin menunjukan pemberontakan paling nyata kepada Tuhannya. Sang Putri Api, begitu dia menyebut.
Terlepas kontroversinya (yang tak sempat kuikuti), buku ini seolah menyajikan realitas sisi lain. Akan menyudutkan pandangan orang terhadap eksistensi gerakan islam yang marak. Tapi buku ini seolah potret, sekaligus bisa menjadi sebuah muhasabah (refleksi) para aktivis islam sendiri. Seperti pengantar penulisnya mengutip sebuah puisi, melalui dosa kita bisa dewasa.
2 comments:
wah, 3an suka baca novel juga ya?
tolong di review ya di blog ini, novel2nya Najib Kailany. aku tunggu lho :D
udah selesai baca Bayang-bayang Hitam kan mbak? :)
Post a Comment