Dulu, momen bercerita menjadi saat-saat yang menyenangkan. Selepas ayah pulang dari tugas jauh, atau bepergian tanpaku, maka meja makan menjadi tumpahan cerita. Dan jika ada hal-hal ”baru”, semua ceritanya tersaji dalam obrolan meja makan. Ya...obrolan meja makan. Sekalipun tanpa banyak ”tumpahan” makanan disana.
Keluarga-ku sederhana, untuk ukuran ”pegawai” separti ayahku. Sederhana dari bentuk rumah dan isi-isinya , dan tak lupa, lokasi yang di pinggir sawah. Benar-benar rumah tua yang besar, hasil warisan orang tua angkat ayahku. Sederhana dalam gaya hidup, mulai makanan yang sekedarnya, didikan pakaian dan kegiatan rumah tangga.
Sejak kelas 2 SD, aku sudah diajarin mencuci baju sendiri. Pertama baju yang kupakai sehari-hari, lalu sejak kelas 4 seragam sekolah pun berpindah tangan dari awalnya oleh ibuku. Ayahku, sampai sekarang masih pula mencuci sendiri. ”lebih yakin nyuci sendiri,” sebuah pledoi aku pikir. Walaupun sekarang, lebih banyak ”alasan” perihal keluarga yang mendasarinya.
Jangan tanya membersihkan rumah. Aku tak ingat pasti. Tapi sejak sangat kecil, menyapu ruang tamu, mengepel, dan menyiram tanaman. Aku anak laki-laki dengan kedua kakak perempuan, dan mungkin ”pendidikan kewanitaan” banyak mampir padaku. Sering tetangga-ku berujar, ”tuh, perawan-nya lagi nyapu”. Karena sampai lulus SMU, setiap seminggu sekali pulang (kost sejak kelas 1 SMU...karena rumahku yang ”desa”), minggu pagi pasti menyapu rumah tua nan besar plus halaman luasnya. Dan orang-orang yang mau berangkat ke sawah, pasti melihat.
Atau bahkan kegiatan yang lebih ”keras”, menjemur padi. Ya..keluargaku punya sawah yang ”cukup” dan dalam tiga kali setahun panen. Sedikit pembenaran, hitam kulitku mungkin karena suka main di sawah dan mandi di kali (sungai). Lain kali aku ceritakan tentang sawah dan kali ku.
Justru karena sederhana itu (sekali lagi untuk ukuran keluarga ”pegawai”), kami benar-benar berlatih hidup. ” lebih sulit belajar susah, daripada belajar senang”, kata ayahku. Dan benar, dalam kisah-kisah beberapa pihak dalam keluarga besarku yang bermasalah, kata-kata itu terbukti. Untuk mendukung buah ajarnya, sejak kelas 2 SD aku tahu persis kisaran gaji ayahku, sampai sekarang. Katanya, ”hanya uang halal yang menenangkan.” Pendidikan keluarga masa lalu yang indah.
Tapi kami bukannya tidak mau dengan hidup ”cukup”. Hidup cukup kami ketika dalam kegiatan perjalanan. Ke Solo, kota favorit keluarga. Selain karena ada beberapa saudara, kakak pertama-ku juga sebulan sekali berobat kesana. Belanja, hampir pasti. Ayahku berburu barang-barang bekas mesin dan ibuku di pasar favoritnya, Klewer. Cukup saat perjalanan, tapi tetap saja aku tak berani hanya meminta sepotong Es Krim saat ke Gua Maharani, Lamongan, waktu kelas 2 SMP. Walaupun akhirnya ayahku yang menawari dan membelikannya langsung.
Lalu, kecukupan kami juga dari penggalan-penggalan cerita. Setelah ayah pulang dari bepergian luar kota (Surabaya seringnya), maka pengalaman-pengalaman mengalir darinya. Hotel berbintang atau penginapan nyaman, makanan enak, suasana kerja dll. Pun ketika aku selesai bepergian jauh tanpa keluarga, cerita juga mengalir dariku. Atau peristiwa-peristiwa harian yang menjadi cerita bersama.
Banyak hal yang bisa dihasilkan dengan bercerita. Dan lebih tepatnya berbagi cerita. Apa yang tidak dialami oleh diri sendiri, bisa didapatkan hikmah dari orang lain yang mengalaminya. Membentuk visi, karena kita diajarkan punya pandangan kesana. Walaupin belum tentu kita akan mengalaminya di masa depan, kita sudah ”tahu” bagaimana itu terjadi, lewat cerita. Bukankah kehidupan manusia pada dasarnya adalah cerita bagi manusia lainnya? Maka berikanlah cerita kebaikan pada mereka.
Berbagi mimpi, adalah bagian bercerita. Berbagi mimpi artinya menceritakan apa yang kita rencanakan di masa depan kepada orang lain. Kerena kita sudah berbagi, maka upaya menuju kesana pun akan berbeda, lebih berusaha keras. Pun jika kita tak tercapai mimpi itu, ada sahabat yang mengingatkan, ”bukanlah kau pernah bermimpi menjadi ...?” Maka kita pun bergegas kembali menyusun mimpi-mimpi baru yang lebih sesuai. Bukankah itu indah?
Aku suka ber-(bagi) cerita. Dari cerita tentang cita-cita, idealisme, mimpi dan kehidupan, hingga cerita dari setiap helai baju yang kupunya, kenapa aku memilihnya. Aku suka ber-(bagi) cerita, salah satu alasan kuatku membuat sebuah tempat berbagi cerita . Menjadi “rumah kedua”, sekaligus batu bata kecil cita-cita mulia.
Tapi memang, tidak dengan semua orang kita banyak bercerita. Dengan siapa kita bercerita adalah jawaban interpersonalitas kita dengannya. Dan, aku pernah berujar pada seorang sahabat, “Bahkan ketika ’malam itu’ tiba, aku tak ingin melewatkannya tanpa berbagi cerita lebih dulu”. Lalu ia menjawab ringan, ”kasihan dia-nya, tau!”.
terima kasih, buat yang membantu bercerita
2 comments:
gua juga suka bgt cerita2. baik itu penting maupun ga penting. tapi justru yg ga penting-ga penting itu yang rame, iya ga... hehehe.. salam kenal ya.. :)
sama2 rime..
kenalan baru nih..
met kenal juga ya...
Post a Comment