Tuesday, May 02, 2006

potret manusia pembelajar

Namanya Muslimin, angka usianya telah beranjak 28 tahun. Dia masih lajang, walaupun dalam segi kematangan, aku pikir tak ada yang kurang untuk menjadi seorang suami. Pekerjaannya memang “hanya” penjual nasi goreng, sebenarnya bukan penjual, karena tentu saja di sendiri yang memasaknya. Tidak tiap hari dia ada di depan rumahku, tiap kurang lebih seminggu sekali dia bergantian dengan dua temanya yang lain. Sepertinya memang penjual nasi goreng di bandung menjadi semacam “kartel” yang jumlahnya banyak.

Sejak lama aku amati, dia berbeda dengan dua temannya yang lain. pendiam dan ramah, kesan pertama tentang orang ini. dengan topi yang manjadi ciri khasnya, dia sangat mudah tersenyum. Kesan yang membedakan dengan dua temannya, yang satu rambutnya dicat dan yang satunya masih sangat muda (kutaksir sekitar 20an tahun).

Selain itu pastinya adalah masakannya, mie kuah, mie goreng, nasi goreng, atau campuran diantara mie dan nasi goreng (biasa disebut mawut). aku sendiri dulu sempat berpikir bahwa karena penjual nasi goreng adalah “kartel” maka siapapun yang membuat, maka hasilnya 11-12, tak jauh beda. Tapi bagiku, mas muslimim beda. Tidak terlalu gurih, tidak hambar, tidak terlalu pedas, dan porsi yang pas. Aku tidak tahu, apa gara-gara pengaruh simpatik pada seseorang sehingga membuat apapun yang berasal darinya adalah nikmat. Tapi beberapa temanku juga merasa hal serupa.

Hal yang khas, aku amati dia suka membaca. Ya...seorang penjual nasi goreng hobi membaca. Dengan tekun berusaha mencari cercah cahaya, dia membaca. Koran, bacaan yang hampir selalu aku temui padanya. Mombalik-balik koran, sepertinya adalah kebahagian tersendiri seperti halnya mengetahui ada (calon) pembeli yang memesan masakannya.

Pernah suatu hari aku bertanya padanya, kenapa suka membaca (sebuah pertanyaan retoris). Dia menjawab, “mengisi waktu luang mas, daripada ngelamun tidak jelas. Baca bisa tahu berita-berita”. Lalu aku timpali, “lho emang itu koran kapan mas?”. Sambil ketawa dia menjawab, “wah ini udah koran lama, bulan desember (tahun lalu!). lumayan lah, buat baca-baca”

Di tempat yang lain, Mak Etak sedang berusaha keras bisa membaca dan menulis. Anda tahu usia Mak Etak? Sudah lebih dari 60 tahun! Usia yang mendekati usia Sang Nabi ketika dipanggil ke haribaan Kekasihnya. Jalannya pun sudah tidak tegak lagi. tapi terlihat dia bersemangat, ketika harus maju ke depan kelas menuliskan sesuatu di papan tulis. Di sebuah desa, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, Mak Etak bersama teman-teman sebayanya belajar dalam sebuah lembaga pendidikan lanjut usia.

Ketika ditanya, buat apa Mak Etak belajar membaca?. Senyum cerahnya dan jawaban polos berlogat betawi meluncur, “biar bisa baca aksara, baca-baca berita, di koran dan lain-lain” (Metro Pagi, ahad 30 April 2006)

Sosok muslimin, Mak Etak, (dan potret anak-anak belitung) adalah gambaran betapa belajar adalah sesuatu yang dilakukan dengan tulus, tanpa mengharapkan apa-apa, sebuah nilai, label kelulusan, atau yang berujung pada gaji yang tinggi. belajar yang hakiki, adalah kegiatan yang mampu menjadikan manusia terlepas dari keterbelengguannya menuju sinar cerah pengetahuan.

Muslimin bukan orang yang berpendidikan tinggi, tapi dia berjuang mendapatkan wawasan seperti halnya berjuang mempertahankan hidup. Mak Etak, betapa sedihnya kelak jika akhirnya beliau harus membaca berita-berita koran negeri ini, tak ada berita harapan menghampiri. Yang ada, kekerasan, penipuan, kemaksiatan dan segala ketidakenakan lainnya. Tapi bukan akhir yang mereka tampaknya ingin capai. Sebuah proses yang disana tergantung cita-cita adalah energi kehidupan mereka.

Maafkan aku Mas Muslimin, tadi malam aku tak berperan dalam upaya menyambung hidupmu. Hanya koran hari sabtu yang bisa kuberikan, aku tahu itu lebih kau ingat daripada uang lima ribuan. Maafkan kami Mak Etak, bahkan cucu-cucu mu yang punya tenaga, dan kesempatan ini tak bisa menikmati makna pendidikan negeri ini seperti halnya kau menginginkan membaca aksara dunia.

Selamat hari (berbenah) pendidikan...

1 comment:

Anonymous said...

sekarang, mas muslimin lagi suka baca majalah kecil...kaya hidayah atau intisari.

memang hebat!