Friday, August 26, 2005

LIfe..

I know you are in myself
I know you are surround me
And i know now...
I’m just part of you

Life...
I feel so many people lose themself
Walking in crowd communities
Without their meaning in the deep heart
And i suggest you, life
Give us the usefull leason
About you, about things beside and arround you

The lesson which lighten our mind
That to brighten our faith
More and more than when we were born

Life...
It’s maybe an apologize for me
It’s probably not appropriate for me
To give a want

It’s because, i don’t want to be alone in you
Cause i am being the care man
Better than yesterday, and will be
Much better than today

PPSDMS, June 25th 2005
pas lagi ada tugas buat "poems" dlm 10'

Sunday, August 21, 2005

...selamat kuliah!

besok kuliah lagi, seperti kata miftah

salam dari sahabat...

aslkm.trian gmn kbrnya.yan mksh AL QURANnya ya.sbtmu sutaji

tadi sore bunyi sms itu mausk dalam hp ku. kaget pastinya, karena sutaji adalah seorang taruna akmil. pastinya hp bukan barang yang saban hari. tapi ini kan minggu, jadi mungkin sedang "plesir" (sebutan mereka untuk keluar dari asrama). selain itu juga, dia aku kenal ketika Pelayaran Kebangsaan juga, sekitar 4 minggu lalu. mau tau photonya? ini dia yang pake topi.


sedangkan sebelahnya, adalah lalu hedwin, akpol 2003.keduanya lulusan SMU Taruna Nusantara. smu yang waktu dulu, aku paling anti masuk (zaman smp).maklum, saat itu kan lagi marak peristiwa reformasi, segala yang berbau militer...LAWAN!!! tapi sekarang, setelah ESQ bareng dengan seskoad april lalu, dan kemarin pelayaran dengan taruna2, jadi tau posisi dan respek pada mereka.

kembali ke sutaji, sobatku ini kata yuniornya, adalah ustadz akmil. maklum, suka tidur masjid (tingkat akhir, tinggal di paviliun katanya).waktu pelayaran juga, dia rajin baca Qur'an setelah maghrib, sambil nunggu isya, rajin shubuh jamaah (padahal aku masih saja kecolongan:) dan tidak mau "main" ama wanita (katanya, "tentara harus selektif memilih jodoh. karena wanita tidak tahu kehidupan yang sebenarnya nantinya.sekarang mungkin hanya lihat penampilan saja"). jauh beda ama kebanyakan taruna2 lainnya. dan setelah nanya temen Tarnus juga, dia emang alim dari smu. wah..keren kan?

kita juga sering diskusi masalah bangsa. tentang pemuda yang minim nasionalisme,tentara yang kurang diterima rakyat,minimnya religi di kalangan tentara, tragedi Aceh sampai ke perang modern (bukunya Ryamizard R).tak lupa juga aku selipkan, pengalaman ku ESQ bareng calon perwira tinggi AD kemarin.secara pengalaman, diskusi berbeda antara sutaji (atau taruna2 lainnya) dengan bapak2 seskoad. karena taruna relatif hanya mengenal kata taat.tapi aku sampaikan padanya, semoga secepatnya bisa masuk seskoad dan menjadi perwira tinggi yang memberi warna pada tentara kita.sekarang, dia menjadi danyon taruna tingkat akhir dan calon danmen candradimuka(taruna ad,au,al,pol yang baru masuk)

aku akhirnya menemukan hal yang baik di akhir pertemuan kami kemarin. aku berikan Al-Qur'an ku padanya. aku bilang, "sutaji, ini buat kamu. supaya lebih mudah dibawa saat tugas di lapangan.tidak usah membawa yang besar seperti Al-Qur'an biasa". tak lupa aku tulis disana, "untuk sahabatku sutaji, semoga tetap istiqamah. dari sahabatmu, trian."

dan kemudian, sutaji sms sore ini menjelang jam 5. setelah aku balas, dia pun mengirim dengan hal yang membuatku lebih terharu dan bangga padanya. ini bunyinya :
yan do'akan aku.INSYAALLAH sptbr nannti aku brkt ke thailand

Sunday, August 07, 2005

oleh-oleh.....?

setiap kali aku pulang atau bepergian, hal yang [sebenarnya] tak ingin kudapatlan adalah ucapan : jangan lupa oleh-pleh ya? sebaliknya, aku pun berusaha untuk tidak mengucapkannya kepada orang lain. bukan semata-mata karena aku tidak ingin mendapatlan ucapan itu.

oleh-oleh, hampir semua orang mengartikannya sebagai "makanan" atau barang khas. orang jarang yang menerjemahkan oleh-oleh sebagai suatu hal yang berharga yang diberikan setelah bepergian. bisa jadi sebuah cerita, kisah, foto dan pengalaman.

dengan mengidiomkan oleh2 hanya sebagai makanan atau barang (makanan yang paling banyak), maka kita telah menyempitkan makna kehidupan itu sendiri. apakah hidup ini hanya materi berupa makanan atau barang?

pun sebenarnya juga, alasan lebih teknis, tempatku pulangt di magetan bukan di tenmpat yang memudahkanku untuk mencari atau membeli oleh2. aku tinggal bukan di kota magetan, tapi jauh dari kotanya (sekitar 25 km). ketika orang meminta oleh2, maka yang terpikirkan bagaimana aku harus membelinya di kota. hiks....hiks...5x

selain itu, orang tuaku tinggal berdua sendiri. ketika pulang, hal pertama yang kulakukan adalah membersihkan kamar kemudian mencuci. aku pun tidak ingin membebani beliau2 dengan yang namanya oleh2. walaupun dengan oleh2 itu, aku dianggap manis di depan temen-temanku.

ibuku mungkin berbeda dengan ibu2 lainnya. seringkali beliau tidak akan menyiapkanku oleh2 setiap pulang jika aku tidak meminta. untuk kembali ke bandung, aku mempersiapkan segalanya sendiri dan bagiku menjadi kebanggaan karena tidak membebani.(mudah2an pendampingku kelak paham akan kebutuhan yang sesunguhnya)

dalam setiap bepergian pun, aku tak mau terbebani secara fisik apa yang dinamakan "makanan". kalaupun barang, masih rada mendingan. kalau kita dibebani oleh2, aku takut arti perjalanan itu sendiri jadi kurang.

ada beberapa orang yang aku tahu juga tidak ingin "terbebani" dengan oleh2. seorang kawan, setiap ada orang yang meminta oloeh2 kala pulang kampung ke semarang, selalu menjawab tegas, " aku tidak akan membawa oleh2 buat kamu!!"

tapi aku tidak ingin seperti dia. terlalu jujur bagiku, dan itu sangat dalam bagi arti persahabatan. sekali-kali, aku pun masih juga membawakan oloeh2. jika ibuku atau bapakku memaksaku membawanya. itu juga kalau ibuku sudah terlanjur membelinya.

sekarang, sementara aku hanya tersenyum ketika banyak orang menanyakan oleh2 setelah aku bepergian atau pulang kampung. dan itu hanya mampu dipahami oleh sahabat saja, bukan sekedar teman biasa. maafkan aku teman....

[refleksi desa tercinta]

Wednesday, August 03, 2005

Let’s Talk About “Cinta”......

Apa yang dipikirkan kita semua tentang judul diatas? Sebagian besar mungkin, suasana melankolis-romantis yang akan didapatkan dalam tulisan ini. Dan bentuknya tidak sampai merubah ekspresi luar kita (wajah, mimik), karena lebih banyak itu dimainkan porsinya oleh hidden interest kita.

Cinta (atau tepatnya wanita) menurut teman saya, adalah salah satu dari dua hal yang tidak akan pernah selesai dibicarakan, never ending talking. Satunya lagi adalah misteri. Tapi kita hanya mengulas singkat cinta, sebagai penyedap kehidupan yang membacanya.

Seringkali manusia modern menerjemahkan cinta dalam pengertian yang sederhana, yaitu landasan dua insan manusia lawan jenis untuk hidup bersama, baik jangka pendek (pacaran) maupun panjang (keluarga). Padahal, seharusnya cinta pula yang mendasari kita melaksanakan semua ritual agama kita. Dan cinta pula yang mungkin terpancar dalam terpaan wajah kita ketika bertemu manusia lainnya.

Tunggu dulu, apa bedanya cinta dan kasih? Trus dengan sayang? Penulis tidak terlalu paham dengannya. Yang sedikit dipahami, bahwa cinta sifatnya lebih dalam bermakna dan khusus. Sedangkan lainnya, mungkin lebih umum dan universal.

Karena manusia muda zaman sekarang lebih mengartikan cinta dalam bentuk praktis-simplistis, makna cinta itu sendiri telah mengalami degradasi. Atau sesungguhnya cinta telah melakukan rekonstruksi sesuai makna zamannya?

Kita juga bisa melihat dalam sejarah dunia pula, sangat mungkin cinta lawan jenis yang menjadi penyeimbangnya. Lihatlah, hampir semua tokoh besar selalu mengalami pasang surut dalam kehidupan cinta jenis ini. Muhammad dengan kesahajaan Khadijah dan kemanjaan Aisyah, Louis XI dengan Maria yang glamour, Napoleon dengan Anna yang mendapat persembahan air pancuran setelah mengalami sebuah kemenangan Bosporeus, Soekarno dengan dinamika istri-istrinya, sampai Hamka dengan kesederhanaan istrinya.

Namun jika cinta hanya ditafsirkan sebagai alasan manusia untuk menyukai, menyenangi, rindu, cemburu kepada lawan jenisnya, mungkin manusia telah merasa bahwa hanya dengan meletakannya pada tempat itu cinta akan mudah diejawantahkan. Tanpa harus banyak berpikir, merenung mendalaminya, dan secara naluriah cinta sepsrti itu adalah cinta yang mudah terbentuk ketika manusia menginjak dewasa. Ungkin lebih dari perasaan cinta kepada orang tua sendiri yang hidup bersama sejak kecil.

Padahal menurut penulis, cinta sendiri adalah proses dalam kehidupan, yang artinya mencinta. Cinta bukanlah akhir dari tujuan. Dan jika cinta adalah proses, maka tidak akan pernah merasakan batas akhir dari perjalanan hidup manusia. Tapi apabila kita merasakan dan memperjuangkannya, kita akan menemukan bukit dan lembahnya. Sedangkan kalau menjadi tujuan akhir, cinta akan menjadi sempit dan kita merasa sudah menemukan puncak bukitnya.

Pendalaman makna dari cinta diatas, bisa diterapkan dalam cinta segala terjemah. Cinta dalam hal ketaatan terhadap Tuhan, orang tua, dan kepada lawan jenisnya. Dan bagi seorang muslim, cinta yang dimiliki terhadap aneka bentuk dunia, tidak boleh melebihi cintanya kepeda Allah, Rasul dan Jihad (Q.S At-Taubah : 24).

Dan seorang Hamid kemudian “mengalihkan” sepenuhnya bentuk kehidupan kepada Zainab, menjadi bentuk kerendahan kepada Tuhannya di tanah suci (dalam kisah Di Bawah Lindungan Ka’bah). Meskipun keduanya menjadi insan yang saling tahu perasaan, dan tak pernah mengalami perjumpaan di dunia.

Atau kepada Setadewa yang karena cintanya kepada negara, akhirnya harus dikeluarkan dari perusahaan yang telah berbuat curang. Walaupun hidupnya juga dipatahkan dengan telah berkeluarganya Larasati, seorang perempuan cerdas, adik bermainnya saat kecil (Roman Burung-Burung Manyar).

Dan pada akhirnya, Soe Hok Gie yang akhirnya “dikalahkan” oleh Ira dan Sinta. Meskipun dia dengan tegas menyatakan “Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan” (film GIE). Manusia, menurut Weber, memang menyukai peran dalam panggung-panggung kehidupan yang berbeda.

Sehingga cinta mungkin yang menjadikan kehidupan ini ada, baik dalam arti praktis maupun luas dan dalam. Alangkah sayangnya, jika cinta mangalami peyoratif, diterjemahkan dalam lingkup yang sangat sempit. Walaupun, dengan menyempitkan maknanya, kita akan banyak melihat cinta seperti pasir di pantai yang bertabur banyak. Dan seolah-olah, kita telah menemukan cinta sejati yang membuat segalanya menjadi indah.

Beginilah cinta...
Deritanya tiada akhir


[terinspirasi sebuah perjalanan bahari penuh “cinta”, 20 Juli 2005]

Tuesday, August 02, 2005

.........Atas Nama Kemanusiaan?

Bagi banyak orang, bhakti sosial adalah sebuah hal tindakan yang mulia. Terutama bagi orang yang berlimpah harta alias banyak uangnya. Sesekali, sedikit menyisihkan harta buat orang yang kekurangan bagi mereka bukan sebuah hal yang susah.

Dalam islam sendiri, orang yang sudah mampu dan memenuhi batas minimal harta (nishab) berkewajiban untuk berzakat. Tujuan zakat tidak hanya melakukan nilai sosial, melainkan juga sebuah nilai moral terhadap material itu harta sendiri yang otomatis juga terhadap pemiliknya. Maksudnya, zakat sebagai pembersihan harta karena dalam harta nishab terkandung harta orang-orang yang lemah.

Tentang orang-orang lemah, atau dalam bahasa Al-Qur’an disebutkan Mustad’afin, terdisir atas delapan golongan (lihat Q.S At- Taubah : 60). Golongan-golongan itu adalah fakir (oarang yang tidak berpengahasilan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan), miskin (berpenghasilan tapi tidak mampu memenuhi kebutuhan), amil (panitia zakat), yatim (tidak memiliki orang tua), muallaf (orang yang baru masuk islam), riqab (memerdekakan budak), gharim (orang yang terlilit utang), sabillillah (orang yang berjuang di jalan Allah), ibnu sabil (orang dalam perjalanan).

Delapan asnab (golongan) diatas pun dalam konteks waktu mengalami perkembangan. Ada hal yang harus di-redefinisi-kan atau bahkan disesuaikan (baca: tidak mungkin ada lagi). Misalnya, riqab dimana zaman telah tidak mengakui perbudakan, gharim yang sejauh sekarang manusia berhutang hanya memenuhi kebutuhan pribadi dan sabilillah yang zaman dulu identik dengan mujahid perang atau pejabat negara yang sepenuhnya mengabdikan diri sehingga tidak berpenghasilan (dan sekarang hampir sulit ditemukan).

Belum lagi tentang kasus-kasus tertentu yang menjadikn kita harus melihat jeli dan deskriptif, misalnya tentang bencana Aceh. Dalam bencana tersebut, mungkin banyak hal yang bisa dimasukan dalam kedelapan asnab diatas. Bisa jadi masuk dalam kategori fakir, miskin, yatim dan kategori “khusus” yang sepertinya belum ada yaitu karena bencana.

Walaupun delapan asnab diatas masuk dalam teks zakat, namun dalam makna yang lebih melebar seperti shadaqah pun tidak lepas dari asnab tersebut. Sehingga, bantuan yang diberikan terhadap kasus khusus adalah hal yang harus dilakukan meskipun secara teks murni (dari asnab) bantuan karena bencana tidak ditemukan (kita bisa melihat kaidah umum untuk saling membantu saudara yang kesusahan, seperti sejarah Muhammad).

Berbicara tentang bantuan, akan menjadi lebih “humanis” jika bantuan tersebut tidak saja dilndaskan pada “material-orinted”. Maksudnya, bantuan (shadaqah atau zakat dll) tidak sebagai pendekatan mterial kita kepada mereka (penerima bantuan) tapi juga dengan sebuah ekspresi yang menyertainya. Mengambil istilah Jurgen Habermas, tiga hal yang terjadi dalam sosiologis manusia adalah lingusitik (lisan, bahasa), tindakan dan ekspresi (mimik, gerak gerik).

Sehingga, tindakan pemberian bantuan dan ucapan “saya memberikan bantuan kepada .....” tidak lengkap bila tanpa ungkapan (ekspresi). Jika masuk dalam ranah ungkapan, maka manusia mulai melibatkan persaaannya.

Bantuan yang diberikan secara “material orinted” menurut saya hanya menghinakan dan merendahkan mereka. Kita membantu karena mereka kekurangan, tidak punya, lemah dan bukan karena kita menghargai keberadaan mereka (ekspresif). Dan jangan sampai pula kita berpikir individualis dengan mengatakan bahwa bantuan itu karena kita ingin beramal atau membersihkan harta kita.

Dalam istilah yang lebih sederhana, pendekatan yng digunakan dalam bantuan itu bukan material oriented (yang penuh nuansa lingustik-aksi), melainkan dengan pola pendampingan (ditambah dengan ungkapan). Pendampingan menjadikan orang terbantu sebagai partner, dan bukan sebagai pihak yang dibawah untuk dibantu. Menjadi partner pun bukan dalam artian karena kepentingan kita terhadap pembersihan harta.

Partner dalam arti kita sebagai manusia yang terlibat dalam sistem kehidupan sehingga penjagaan terhadap sistem inipun harus dilaksanakan secara bersama. Dalam sudut pandang kita, mereka mungkin lemah dalam hal ini dan itu. Tapi bisa jadi mereka punya jauh kelebihan daripada kita dalam sisi lainnya. Dan inilah pola pendampingan yang menjadikan semuanya sejajar dan menjadi pembelajaran yang resiprok (dua arah).

Yang tidak bolah terlupakan, prosesnya sendiri juga harus merefleksikan pendampingan tersebut. Kita tidak menjadikan proses itu sebagai hal yang dekonstruksif bagi mereka. Maksudnya, dalam proses tersebut kita tidak .

Proses pendekatan yang tanpa ungkapan contohnya kita datang untuk memberikan bantuan dan kemudian meningglakan tanpa meninggalkan citra perasaan kita pada mereka. Kit datang dan mereka menyambut kita, tapi setelah kita pergi, mereka kembali dalam bahasa, tindakan dan ekspresinya.

Disini saya menilai kita telah melakukan kejahatan moral dengan melakukannya seperti itu. Bukankah itu kita lakukan atas nama kemanusiaan? Mungkin ya. Tapi lebih dalamnya, kemanusiaan tersebut hanya sebagai dalih. Karena sesungguhnya kita sedang mempermainkan perasaan mereka. Bagaimana jika mereka dalam kedukaan, lalu (dipaksa) senang dan setelah kita pergi kembali larut dalam kedukaaanya? Bukankah itu sebuah moral crime?

Sehingga, atas nama kemanusiaan pula saya mengungkapkan bahwa mempermainkan unconscious memories manusia lain adalah tindakan yang tidak dibenarkan. Kembali lagi, proses yang mungkin lebih baik jika ekspresi dilibatkan selain bahasa dan tindakan. Ekspresi sebagai seorang teman, sahabat atau keluarga. Kita berbincang, mengelus, mengusap memang atas nama kita sebagai manusia, terlepas dari bantuan kita (tindakan).

Bagi saya, disinilah kita akan mendapatkan unconscious feedback dari mereka sehingga kita sendiri merasakan bahwa proses ini adalah niscaya untuk kita, bahwa proses ini harus dilaksanakan. Jika tidak, maka sebagian diri kita akan hilang (tapi tidak dipandang untuk memenuhi ini kita membantu). Dan itu berarti, nilai kemanusiaan telah ditempatkan pada posisinya.

[Terinpirasi Dalam Sebuah Perjalanan Bahari, 18 Juli 2005]

Monday, August 01, 2005

Kisahku di Panti Asuhan Medan


Beberapa hari yang lalu, kami serombongan Pelayaran Kebangsaan V dalam perjalanan ke Medan, Sumut. Agenda utama kali saat itu adalah berkunjung ke Panti Asuhan yang menampung beberapa anak korban tsunami Aceh. Kenapa di Medan? Karena pelabuhan di Aceh tidak siap dengan kedatangan kapal dan keamanan Aceh yang tidak bisa dipastikan. Sehingga tujuan semula yang ke Banda Aceh via Meulaboh, dipindahkan ke Medan.

Bagiku, itu bukan hal yang prinsipiil harus ditolak. Toh pada intinya kita bisa mengekspresikan rasa sayang sebagai satu keluarga bangsa (dan Islam) bisa terealisasikan. “Manusia yang sukses adalah manusia yang bermanfaat bagi bagi banyak orang”, sedikit yang kutahu dari Riwayat Muhammad.

Sayangnya, kami baru berangkat ke Panti Asuhan ketika jarum jam menunjukan lebih dari pukul 12 siang. Padahal jam 15 nanti, kita sudah harus berada kembali di Gubernur-an untuk berangkat ke Toba. Ternyata bus yang aku tumpangi datang paling lambat dibandingkan bus lainnya. Segera kami masuk dalam komplek Panti tersebut.

Tercengang bukan main aku saat itu. Sebuah sambutan shalawat yang dibawakan oleh beberapa santri menyambut kami. Ada tenda besar dan deretan kursi yang berjejer di sebuah panggung tempat penampilan shalawat tersebut. Dan kami banyak yang duduk di kursi di depan panggung itu.

Koq bisa-bisanya kita disuguhi dengan penampilan ceremonial seperti itu? Kami (atau aku pribadi) dtang dengan tulus bertemu, berkomunikasi, berbagi kasih, menyapu rambut mereka, mengusap muka, mencium, menggendong dan mendekap mereka. Tapi kita malah disambut dengan gaya tamu yang sifantnya formal (untung tanpa konsumsi!!!). Padahal, kami tidak lebih dari 1,5 jam berada disana.

Aku tak peduli dengan yang mereka (anak santri di panggung). Segera aku duduk di dekat santri-santri yang sibuk membawakan kursi tambahan buat kami. Oh...betapa sedih dan menangis hati ini. kutahan mereka, “sudah cukup dik”. Tapi mereka membalas dengan senyuman. Aku jadi ingat keponakan yang ada di Magetan yang mungkin seusia. Dan aku tak kuasa menahan mata yang berbicara keharuan.

Kemudian kutanyakan pada santri-santri ikhwannya (tentu aku berusaha menjaga diri dari santri akhwat) tentang nama, usia, kelas, sekolah, sudah berapa lama tinggal di panti, betah, asli mana dan yang tak lupa juga hafalan surat-surat pendek (sebagai motivasi bagiku juga....). Dan tak mungkin aku menanyakan orang tuanya, karena ini panti asuhan aku takut akan menambah kedukaan bagi meeka.

Yang kudapatkan, mereka adalah Abu Dzar, Pahili, Syari’at, Rapama (ini yang manis), Al Nuris (ini yang paling pinter di kelasnya) dan beberapa yang aku lupa. Mereka sungguh manis, mereka sungguh tulus menyambut kami. Walaupun mereka tidk tahu kami ini siapa. Dan benar, mereka hanya tahu dari uwaknya (mereka menyebut kyai) bahwa ada tamu. Ya Alah...mereka membuat hatiku makin pilu.

Sebut saja Rapama, dia yang pertama aku dekati karena manis dan geraknya yang lincah. Dia sudah ½ tahun disini, sekarang kelas 4 SD. Ketika kutanya hafalannya. Daia tak tahu pasti, tapi Al Humazah sudah selesai.

Yang lainnya aku menghampirinya, karena kulihat dia sendiri duduk di pojok gedung di saat panggung bernyanyi Cindai. Dia tidak suka dengan teman-temannya yang berjoget bersama bebeerapa temanku juga. Namanya bagus, Al Nuris. Katanya “Al” diambil dari Al Qur’an, “Nur” adalah Cahaya dan “Is” dari Islam. Intinya cahaya islam. Dia SMP kelas 2, dan hafalannya masih loncat-loncat. Tapi Al-Baqarah 293-295 bisa. Pun kemudian dia membacakan hafalannya ke aku. Beberapa aku benarkan bacaannya.

Aku berpikiran, nama yang bagus. Dan Al Nuris ingin kugunakan sebagai nama salah seorang anak kelak. Ehm...it’s good plan.

Oiya..ternyata ia pingin jadi polisi. Karun kupanggil Taruna Polisi yang ikut serta. Senangnya Nuris dan Taruna itu juga. Apalagi Nuris peringkat no 1 di kelasnya waktu ujian terakhir kemarin. Saking girangnya, kuberikan pembatas Buku berupa nama-nama Surat di Al-Qur’an.

Indah sekali pertemuan kami di sing nan singkat itu. Di panggung lagu “Cindai” Siti Nurhaliza dinyanyikan oleh seorang santri perempuan kedua kalinya. Dan banyak santri-santri yang berjoget serta. Betapa sedihnya hatiku. Bukannya kita membuata kesan dengan membuat semacam Games atau metode lain untuk menghibur mereka dengan nilai-nilai yang baik, malah joget yang jauh dari keseharian mereka di panti. Mereka menyanyi dan joget, mungkin karena ada tamu saja.

Tidak terasa waktunya tiba untuk berpisah. Kucari-cari Nuris tak kutemukan juga. Rapama pun demikian. Aku tak tahu kemana mereka. Satu persatu pergi kami serombongan. Masih sempat ku telatkan keluar komplek untuk melaiht mereka. Tapi tetap tak kutemukan mereka.

Hanya sesaat sebelum naik bus, aku berkenalan lagi dengan seorang anak kecil yang belum sekolah. Tapi aku lupa namanya. Dia juga ingin menjadi polis. Segera kupanggil lagi Taruna polisi. Satu pesan dari kami, “belajar yang rajin. Kalau pintar, mau jadi apa yang disukai bisa”.

Kami naik bus sambil mengusap kepalanya (pipinya ada koyo sakit gigi, menambah imut). Bus pun berangkat. Rapama, Abu Dzar, Pahili, Syari’at, Al Nuris dan yang lainnya maafkan kami. Kami merasa bersalah tak optimal dalam beramal. Kalain kembali beraktivitas seperti semula. Tapi aku disini, tetap mengingat senyum dan semangat kalian.

[Catatan Perjalanan Bahari, 17 Juli 2005]