Friday, February 08, 2008

Pulang

Kereta berjalan pelan masuk ke stasiun besar Madiun, stasiun kota terdekat di kampung halamanku. Jam masih menunjukan pukul 3.05 pagi hari. Jelas, naik kendaraan umum sepagi ini tidak akan membawa ke rumah ibu. Hanya ada dua pilihan. Menunggu hingga matahari agak naik lalu menuju jalur bus yang akan membawa pulang, atau naik taksi yang baru sekali aku lakukan saat lebaran kemarin.

Tentu bukan masalah uang, dibandingkan segera bertemu dengan ibu pasti lebih berharga. Tapi cinta itu rasional. Aku belum mendapatkan tiket kembali ke Jakarta, maka sambil menunggu loket buka jam 7, tak ada salahnya tidur dan sarapan nantinya.

Jarum jam menunjukan 3.25. Setelah memberitahu ibu tentang rencanaku, ku rebahkan tubuh di bangku peron stasiun. Untung aku segera menadapatinya sesaat turun kereta tadi, karena tak ada yang kosong lagi. Semua penuh dengan manusia yang entah menunggu pagi atau kereta pagi, terbuai dalam mimpi atau lamunnya.

Kursi peron yang tidak bisa menampung selonjoran tubuh. Jadi ingat bahwa kursi peron inilah yang menjadi tempat favorit saat smu dulu. Duduk disini, sambil membaca. Melihat kereta dan orang lalu lalang dalam perjalanan. Selalu menyukai tempat semacam peron ini. Bahkan di Bandung pun, ukuran dan bentuk kursi peron ini tidak juga beda. Tampak sebuah mozaik.

Tas ransel dijadikan penyangga kepala, badan direbahkan, kaki dilipat, tidur miring supaya muat dan nyaman dilihat orang. Sandal, ah..biarlah semoga tetap aman.

Mata masih sempat melihat jarum panjang hampir menyentuh angka 11, sempat mendengar suara lokomotif kereta dari Bandung. Deru lokomotif sekali-sekali masih terlintas di telinga, namun mata tak pernah ingin membuka. Lelap sekali.

Terperanjat, masih cukup gelap ternyata. Takut terang, ketinggalan Subuh. Jam 5 kurang, syukurlah. Bangun, lalu ke mushola stasiun.

Pukul 5.25, masih lama juga. Beranjak keluar mushola, menemukan petugas stasiun dan ternyata katanya loket buka jam 7.30 atau malah jam 8. Duh, akan lama bengong dari sekarang. Berpikir cepat, sudahlah coba beranjak keluar stasiun.

Ini salah satu yang tidak aku sukai saat pulang. Apalagi kalau bukan tukang bejak, ojek atau taksi yang berkerumun di gerbang keluar. Bahkan sudah ada satu, dua orang yang membuntuti sejak bangun dari peron tadi.

Jadi ingat kejadian pulang kampung saat masih kuliah dulu. Hanya karena aku bertekad tak akan pernah menerima tawaran dari mereka-mereka, maka ku paksakan berjalan lebih dari 2 kilometer untuk mendapatkan angkutan kota. Ada satu tukang ojek yang keukeuh membuntuti dari peron sampai keluar stasiun. Semakin ditawari, semakin hati menolak. Beradu keras kepala. Dan akhirnya aku yang menang. Puas.. ingat cerpen Becaak yang ada di buku bahasa zaman SMP atau SMU dulu.

Sekarang pasti beda, tak ingin sekejam dulu. Tapi prinsipnya tetap, penumpang adalah raja dan berhak menentukan pilihan.

Ada satu tukang becak yang menempel dari tadi. Usianya sekitar 40an tahun. Aku bilang mau sarapan dulu, dia malah memebri saran sarapan nasi pecel di depan kiri stasiun, katanya enak. Pura-pura menuju kesana. Hmm, tidak sebegitu selera karena ingin lari dari abang ini.

Setelah bertanya berkali-kali dari keluar tadi, akhirnya kujawab ingin ke jalur bus antar kota (ingat, aku tak boleh sekejam dulu). Dia semakin semangat menawarkan. Inilah pelajaran bagi calon penumpang yang dikejar. Saat dibuka pintu, dia akan minta lebih mendorongnya masuk. Ada kalanya lebih baik diam saat ditanya memang. Tapi dari tadi dia sangat nempel sendirian, tampak berharap mendapat rezekinya pertama pagi ini (saya tidak boleh sekejam dulu, tidak boleh!).

Becak, tak ada salahnya dicoba. Cukup artistik. Sangat sulit ditemukan di kota besar, di Jakarta atau Bandung. Ingat saat naik becak dari Lempuyangan bersama teman ke rumahnya di Timoho. Menyusuri jalan-jalan sepi pagi hari di Jogja, sungguh menyenangkan.

Oh berapa, 10 ribu? Dengan jarak tidak jauh, itu terlalu mahal. Itulah pelajaran kedua, setelah mendapatkan kesempatan menjadi penumpangnya, tetap berpikir logis antara jarak tempuh dan ongkosnya. Konon, setidaknya tawar sampai setengahnya dulu. Dan memang dengan 5 ribu aku berpikir ojek pun akan mau. Jadi posisiku kuat sekarang.

Turun menjadi 8 ribu, tapi aku tak bergeming, sambil berpura-pura menatap tukang nasi pecel. Aku membalik badan dan berjalan karena tak ingin meladeninya. Toh ada ojek di depan jauh ku persis, sambil menunggu seandainya tukang becak gagal mengambil penuh hatiku.

Lalu menjadi 6 ribu, sambil mengatakan selisih seribu buat rokok sebatang katanya. Rokok, bukan alasan yang baik pikirku. Makin hilang respek. Pun dengan seribu lagi, aku yakin dia akan mau ke angka 5 ribu. Aku hampir menang, hanya perlu sabar. Inilah pelajaran ketiga, jika sudah logis dengan sebuah angka saat menawar. Pertahankan dengan baik dan sabar.

Berjalan sebentar, dan dia menyatakan mau. Dia masih punya posisi. Tidak apa-apa ucapnya, sekalian ingin ke pasar barang bekas. Dalam hati, setidaknya aku tidak sekejam dulu (astagfirullah..).

Mengkhawatirkan juga, naik becak dan agak goyang-goyang saat duduk di atasnya. Kursi ini buat dua orang lebih tepatnya, hmm.. memang seharusnya bersama teman perjalanan yang menemani nantinya. Naik becak, merasakan jalan meliuk dan pagi yang cerah. Sebuah perjalanan yang artistik.

Becak menyusur jalan anggrek, dari depan stasiun ke kiri dan bukan ke jalan biliton. Jalan-jalan perumahan, segar udara pagi Madiun. Menengok jam, masih belum jam 6. Sepanjang jalan, ada saja orang yang disapa si tukang becak itu. Mulai tegur sapa, tanya kabar anak, bisa saja jadi bahan bertemu orang sekitaran jalan. Mungkin orang daerah sini, pikirku.

Jalan ternyata tembus ke terminal lama, dan berhenti di warung nasi pecel yang kata tukang becak enak, warung bu gito. Kuberikan 5 ribu untuknya, dan aku masuk ke warung.

Warungnya persis di pinggir jalan, keluar nanti bisa langsung menunggu bus. Sudah lama tak makan nasih pecel. Padahal rumus nasi pecel itu sederhana. Asal sambal dan paduan daun-daunnya pas, maka itu akan membuatnya enak. Benar kata tukang becak, nasi pecelnya enak. Dengan teh hangat, daging (di Jawa dikenal dendeng ragi, di Bandung yang mirip dinamakan gepuk), serta nasi pecel menggunakan pincuk (daun pisang yang dibentuk untuk wadah makan), benar-benar membuat pagi yang menyenangkan.

Jarum menunjuk sekitar 6.20, dan bus yang lewat tempat ibuku datang. Dalam hati berkata, rute yang layak dijadikan rute pulang kampung di masa depan. Bersama seorang istimewa, perjalanan inipun akan terasa lebih menyenangkan nantinya. Ibu, aku pulang...


11 comments:

Unknown said...

wa.. lengkap amat ceritanya
peristiwa yg berdurasi sekitar 3,5 jam pun bisa diceritain sampe segitunya
cocok nih jadi novelis
kalo novelnya udah terbit, kasitau ya :D

Rachmawati said...

Adeuh... yang istimewanya siapa nih? :D

pantesan kemaren pertanyaannya konspiratif... ternyata emang di kepala Trian lagi muter-muter yang ada hubungannya sama 'istimewa' :P.

Setuju Trian, kalo sama yang spesial... naik beca pun romantis, gak usah naik gondola ke venesia dulu [walo itu tentunya jadi lebih romantis tis tis, hehehe]

Ayo, segera kongkritkan... :D

and come visit europe sometime ;)

Okky Madasari said...

kamu lagi minta dilamarin ibu ya? woehehehehe..nice story :)

Unknown said...

ente kemarin pulang to ian ??
aq pas di rumah jane, sayang ndak bisa ketemu!!

Anonymous said...

cerita-cerita dong tentang 'calonmu' :D semoga dimudahkan jalan menuju kesana. Amin...

noerce said...

wah2..makin mengerucut, mengkristal, tambah rame&seru aza niy forum...:)

Pas pertama x liat foto lokasinya, kepala lsg "tuing"wuih..madiun...(hix2), lokasi yg slalu mengingatkan daku (halah..) hmpir 8thn yg lalu, masa SMU euy,tepatnya di smuda jl biliton.

Sok atuh, nanti "ulem-ulemin" yach... Madiun-Magetan (dekat-lah..)..:)

Dika Amelia Ifani said...

kisah perjalanan memang menyenangkan..apalagi pulang ke rumah. :) kumaha magetan?

Anonymous said...

Assalammualaykum...
Masak comment ja minta...
Buat nyenangin hati ...kukasi nech komen...dikiiiit tp...

Nice story...detil n rigid banget...
Intinya kamu tuh gak mau rugi...
He3x... Kasian atuh abang becaknya... Napa gak dijajanin pecel jg Boz?
he3x...

Cerita ketemu Ibu na mana?
Itu kayaknya lebih seru...
Semoga mendapatkan "seorang istimewa" itu Soon...
Keep on fighting ya Bro...

amircool said...

ck ck ck, masak komen aja minta :D
memang menyebalkan melihat "kegigihan" tetangga-tetangga kita untuk mengais rejeki, karena cara-cara seperti itu membuat sangat tidak nyaman calon penumpang...
pernah suatu ketika, lebaran terakhir untuk periode kuliah saya, saya pulang bareng rombongan magelang, salah satu akhwat farmasi 2001 dari purworejo (saya g tahu namanya) turun di purworejo, seorang abang ojek langsung menarik tasnya dan ditaruh di bangku belakang ojek. and u know what she did? dia langsung ambil tas dan dengan cueknya ngeloyor pergi tanpa bilang sepatah kata pun... WoW

Anonymous said...

Bagaimana kabar Magetan, semua OK?

Jadi ingat pulang, terakhir naik kereta api tahun 1984, saat ibu dirawat di rumah sakit, rasanya baru saja terjadi.

Siapakah yang istimewa itu Trian? Kenapa tak diajak sowan ibu sekalian?

Anonymous said...

ceritanya panjang amat tri...
akhir2nya "seseorang yg istimewa" toh yg pengen diceritain...