Perjalanan pornografi dan pornoaksi bangsa ini sangat menarik untuk disimak. Menarik bukan kerena materai yang disimaknya adalah wilayah yang bertemakan cukup “panas” dan membuat rasa ingin tahu hampir semua orang. Menarik bukan juga karena banyaknya media yang meng-customize sedemikian rupa sehingga itu semua diatasnamakan sebagai kebebasan pers dan hak azasi manusia sang pelaku. Dan tentu bukan pula menarik karena pemerintah ternyata juga terkesan “canggung” untuk menangani hal ini.Hal tersebut menarik karena ternyata kita semua yang terlibat dalam polemik ini memilki definisi dan persepsi yang berbeda dalam melihat pornografi dan pornoaksi (pornograksi). Dan sepertinya itu sudah ada sejak manusia mulai mempertentangkannya.
Jadi, ada sebuah pertanyaan sederhana berikut : “sejak kapan manusia mengenal sesuatu yang bersifat porno?” saya pikir pertanyaan itu sulit untuk ditemukan jawabannya dalam seluruh literatur sejarah dunia. Disamping kita tidak bisa memastikan apakah kala itu, hal yang kita maksud porno sudah mereka persepsikan sebagai hal serupa, kita juga tidak bisa benar-benar memulai titik awal sejarahnya karena keterbatasan literatur yang membahas. Misalnya jika bangsa mesopotamia tidak pernah meninggalkan hal yang kita maksud, apakah berarti mereka tidak mengenal dan mengalami dunia ke-porno-an menurut mereka. Atau budaya Jawa kuno yang mengenal kitab kamasutra, apakah kitab itu dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang porno?
Keterbatasan-keterbatasan itu yang membuat saya memberikan sebuah anggapan bahwa manusia mengenal hal porno ketika mereka mulai hidup membentuk komunitas dimana sudah ada aturan-aturan yang mereka sepakati. Disitulah sudah ada pemisahan antara barang pribadi dan milik umum. Sehingga wajar menurut saya bila mereka juga merasa bahwa ada sesuatu dari dirinya yang tidak diperlihatkan kepada orang lain. Dari titik inilah, timbul “masalah” ketika ada yang memperlihatkan hal “pribadinya” maka mulai ada ketidakwajaran. Ketidakwajaran, ketidaksopanan ini yang menjadi landasan manusia dalam membentuk pandangan berpikir mengenai kepornoan.
Lalu apa yang dinamakan porno itu sendiri? Saya menafsirkannya secara sederhana seperti dalam gambaran diatas, bahwa porno adalah hal-hal yang menggambarkan kepada khalayak “daerah-daerah” pribadi atau yang berkaitan dengannya dan dinilai tidak sopan oleh orang lain. Jadi ada tinjauan yang khas. Bahwa mempertunjukan itu dinilai porno jika dinilai tidak sopan oleh orang lain. Tentu tidak porno jika itu, pertama hanya untuk konsumsi pribadinya dan kedua khalayak tidak menganggap hal itu porno. Untuk yang pertama, hampir seluruh etika yang ada sepaham dengan hal tersebut. Yang kedua, terjadi polemik karena banyaknya lanskap manusia yang disertakan. Bagaimana jika hanya sebagian khalayak yang menganggap porno suatui hal, apakah itu juga bisa disamaratakan bahwa hal itu porno?
Artinya, diskursus ini menjadi menyempit pada masalah batasan atau parameter tentang kepornoan sendiri. Taruhlah Indonesia untuk lebih mudahnya. Batasan yang berbeda inilah yang sejak dulu (di Indonesia terutama sejak dikenalnya televisi) tidak mampu memberikan solusi atas polemik ini. Jika selama ini masih ada anggapan dari kalangan liberalis bahwa masalahnya ada di persepsi tiap individu, hal itu tidak selamanya benar. Karena kumpulan individu itu membentuk komunitas yang bernama Indonesia dan berarti harus ada aturan tentang itu. Atau jika beranggapan masalahnya ada di pemerintah yang sampai sekarang belum mampu menghadirkan aturan itu, hal itu pun harus dilihat dari sisi lainnya. Yaitu sulitnya menemukan sebuah hal yang paling esensi, yakni pagar batas kepornoan.
Dan kemudian masalah itu seakan-akan dilimpahkan seluruhnya ke masyarakat sendiri. Bagaimana masyarakat menanggapi peristiwa-peristiwa yang dianggapnya sebagai bentuk ponografi dan atau pornoaksi (pornograksi). Pornografi bila kepornoan melalui media kertas dan pornoaksi bila hal itu ditunjukan ke khalayak secara langsung-kasat mata. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa menjadi penyebabnya. Pertama, bahwa masyarakat sendiri adalah plural, baik dari segi pendidikan, pemahaman dan pegangan etika-moralnya. Artinya jika ada seorang beranggapan bahwa sebuah tayangan tv (misalnya) sudah mengarah ke dalam bentuk pornograksi, belum tentu semua orang yang melihatnya beranggapan seperti itu. Dan begitu pula sebaliknya, kumpulan orang beranggapan bahwa tayangan itu wajar-wajar saja, tapi bagi orang lain itu sudah menjadi bentuk pornograksi.
Kedua, bahwa sekarang ini yang berkuasa dalam penyebaran dan pembentukan opini adalah media massa. Ketika sebuah saluran publik ditentukan oleh kepentingan pihak tertentu, maka content-nya pun ditentukan oleh pihak tersebut. Dan kepentingan abadinya adalah profit (modal). Artinya pihak modal yang menjadi penguasa media dalam membentuk opini (dan membentuk budaya) di masyarakat. Semuanya ditujukan demi eksploitasi modal sebanyak-banyaknya. Akibatnya, pertimbangan-pertimbangan lainnya seringkali dinafikkan. Mirip dengan teriakan Garin Nugroho (seniman film) bahwa kita sedang memasuki dunia baru dalam sebuah industri media multikanal. Sehingga kekuatan media yang dilandasi atas modal lah yang menjadi penguasanya.
Dari kedua sebab diatas, terdapat cukup alasan jika polemik ini seolah-olah seperti benang kusut tak berpangkal. Semuanya berdalih dengan kepentingannya masing-masing. Bagi yang mempertahankan budaya ketimuran, tidak ada kesempatan dengan alasan apapun untuk pornograksi. Bagi kalangan yang menyebut dirinya pembebas manusia (liberalis), itu semua dikembalikan ke individu masing-masing. Silahkan bagi yang mau terlibat dalam pornograksi dan bagi yang anti terhadapnya, itu adalah pilihan pribadi dan harus siap dengan konsekuensinya. Bagi pihak neo-kapitalis, apapun dilakukannya semata-mata untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya. Baik atau buruk menurut pandapat masyarakat, tidak menjadi masalah demi tujuan itu.
Benang kusut itu yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mencari solusi tepatnya. Solusi yang tidak didasarkan atas kepentingan ketiga pihak tersebut, melainkan solusi tepat yang berlandaskan situasi dan kondisi (value) bangsa ini. Dari penjelasan diatas, sudah terdapat beberapa hal yang menjadi pegangan kita dalam melihat hal ini. Bahwa kepornoan akan menjadi pornograksi bila ditampilkan ke khalayak melalui media apapun dan selanjutnya itu menjadi masalah. Hal itu bukan berarti bahwa penyebaran kepornoan secara sembunyi-sembunyi dan hanya dikonsumsi pribadi dibolehkan. Misalnya dalam kasus gambar dan vcd porno ilegal.
Mengenai batasan yang menjadi sumbernya, hendaknya sikap bijak dalam melihat pornograksi menjadi frame-nya. Cukuplah banyak peristiwa pelecehan seksual yang dilatarbelakangi oleh pornograksi menjadi alasan dalam menetukan batasan itu. Tidak perlu memperdulikan banyaknya suara yang berkomentar tentang kebijakan yang diambil. Sebuah aturan yang mampu membatasi eksploitasi tubuh manusia atas nama apapun. Aturan yang berlaku tidak hanya bagi kaum hawa yang selama ini identik dengan pornograksi, tapi juga kaum pria yang ternyata juga melakukannya. Semuanya demi menyelamatkan moral Bangsa Indonesia. Karena tanpa moral, mustahil kita mampu melaksanakan segala cita-cita besar bangsa ini.
No comments:
Post a Comment