Buku ini bercerita tentang peristiwa revolusi kemerdekaan di Depok di era 1945-1949. Bukan revolusi dalam arti merebut atau mempertahankan kemerdekaan yang berhadapan dengan Belanda, namun merupakan sejarah ‘kelam’ dimana Depok yang zaman penjajahan adalah ‘daerah istimewa’ Belanda (yang mempunyai Presiden sendiri) akhirnya direbut oleh rakyat dengan sebuah peristiwa yang disebut Gedoran Depok.
Buku ini secara umum terbagi dalam tiga bagian utama, masa awal terbentuknya Depok (1696-1945), masa revolusi kemerdekaan RI (peristiwa Gedoran) dan pasca revolusi setelah perundingan Meja Bundar (1949-1955).
Seorang Belanda Cornelis Chastelein membeli tanah di daerah Srengseng tahun 1695 dan memperluas ke selatan (Depok) setahun kemudian untuk keperluan perkebunan. Untuk mengolah perkebunan, didatangkanlah buruh-buruh dari Sulawesi, Kalimantan, Timor dan Bali yang kemudian membentuk 12 marga ‘Belanda Depok’. Belanda Depok adalah orang Indonesia yang bekerja untuk Cornelis dan kemudian mendapatkan jatah harta warisan Cornelis.
Belanda Depok inilah yang mendapatkan hak istimewa selama masa Belanda dan Jepang, mulai dari Batavia hingga penduduk kampung di sekitar perkebunan. Wilayah Depok sendiri tidaklah seluas sekarang, kurang lebih hanya 1/6 luas sekarang dengan pusat pemerintahan presiden Depok ada di Jalan Pemuda.
Hingga akhirnya ketika Proklamasi, masyarakat kampong merebut semua harta melalui peristiwa Gedoran Depok dan menawan para Belanda Depok ke Bogor. Gedoran Depok sendiri digambarkan sangat mencekam dimulai pada malam hari, dimana para Belanda Depok harus bersembunyi dari patroli-patroli pejuang.
Selama agresi Belanda 1 dan 2, Depok menjadi front depan antara Batavia dan komado Siliwangi yang bermarkas di Bogor. Margonda dan Tole Iskandar, nama pejuang Depok yang gugur dalam misi mempertahankan kemerdekaan dan sekarang diabadikan menjadi dua jalan utama di Depok.
Selanjutnya setelah KMB, para Belanda Depok kembali ke Depok untuk membangun rumah mereka kembali. Namun peristiwa revolusi di pinggiran Jakarta belumlah selesai. Dimana tentara mengalami restrukturisasi, para pejuang ada yang bergabung dalam tentara resmi (gabungan antara PETA,KNIL, dan BKR) dan tidak sedikit yang (kembali) menjadi bandit atau perampok. Masa tahun 1950-1955, Depok menjadi daerah pertempuran antara milisi bandit dan tentara pemerintah.
Mencermati pergulatan itu sendiri, dimulaai saat para pejuang melihat kenyataan yang tidak memuaskan terhadap jalannya perundingan dengan Belanda dan kemudian berperang sendiri dengan tentara pemerintah yang seolah-oleh mewakili kekuasaan. Bahkan pasca KMB pun, perlawanan terhadap tentara pemerintah masih dilanjutkan dalam skala lebih kecil yang dilakukan oleh para bandit yang dulunya juga merupakan pejuang.
Selain merupakan catatan-catatan, sesuai judulnya beberapa kopi manuskrip asli perihal asal Depok juga disertakan dalam buku. Salah satunya adalah surat wasiat Cornelis dan pembagian ke 12 marga. Beberapa foto Depok tempo dulu juga menambah nuansa historis dari beberapa titik familiar di Depok. Wawancara dengan saksi hidup menjadi salah satu titik kuat dari buku ini.
Tapi menurut saya pribadi buku ini belumlah disebut sebagai buku utuh sebuah sejarah Depok. Hal tersebut karena secara sistematis buku ini tidaklah seperti buku sejarah dimana alur cerita dan sumber dirunut dengan rapi. Seperti disampaikan diatas, model sistematika buku ini mirip lebih seperti catatan sejarah dibandingkan buku sejarah.
Terlepas demikian, tekad dan usaha penulis untuk menyusun sebuah Buku sejarah lokal sangatlah harus diapresiasi, apalagi di tengah dunia modern dan populis saat ini. Walaupun belum sempurna, paling tidak buku ini mampu hadir di tengah masyarakat Depok menjawab keingintahuan atas sejarah daerahnya sendiri. Buku ini juga layak menjadi bahan bacaan generasi muda Depok.
Dan karena manfaat tersebut yang menutupi harga sedikit mahal dari buku ini jika hanya dipandang sebagai sebuah catatan sejarah lokal. Layak dikoleksi, terutama oleh warga Depok. Selamat membaca.