Kalimat itu yang terucap saat terakhir kita bertemu di lembah itu. Dan sekejap langsung nafasku terhenti. Kupandang dirimu yang menatap kosong pada rerumputan ilalang di bawah sana. Wajahku serius menenatpnya, menunjukan sebuah keterkejutan sekaligus pertanyaan. Ingin menjadi laki-laki, apa sedari dulu kau bukan seorang laki-laki?
Hingga akhirnya kau meninggalkanku di kota itu. Bukan saja diriku, tapi juga semua kehidupan mapanmu lainnya. Kau sudah bekerja pada sebuah perusahaan multinasional, dengan jabatan yang tidak semua orang bisa mudah mendapatkannya. Gaji? Jangan kau tutup-tutupi, tapi untuk hidup, lalu menabung, dan lainnya pun masih terasa berlebihan. Kau laki-laki, tepatnya laki-laki yang sudah bisa mendapatkan kemapanan, sebuah tingkat yang jarang manusia lain bisa mencapainya di seusiamu.
Lalu, kehidupan bahagia yang disyaratkan dengan adanya rasa cinta dan kasih sayang pun sudah kau ciptakan. Orang tua atau ibumu, tentu bangga dengan apa yang raih. Lulus dari sebuah perguruan tinggi bergensi dengan predikat berprestasi, dan diteruskan dengan karir kerjamu.
Sahabat atau teman, sebuah kelompok yang harus dilihat jika ingin mengetahui pribadi seseorang. Kau punya sahabat dan teman yang menyayangi. Dan bahkan sangat menyayangimu. Yang namanya kepercayaan dan pengkhianatan adalah dua hal sekeping yang kau hati-hati disana. Hampir teman atau sahabat orang mengenalmu yakin, bahwa kau teman atau sahabat yang baik.
Jika kemudian kau rasakan bahwa kehidupan begitu hampa dan sendiri, mungkin itu karena kau tak kunjung juga menemukan belahan hatimu. Tapi itu hanya urusan waktu bukan, seperti yang pernah kau katakan. Seseorang yang mantap dengan calonnya pun belum tentu akan menjadi pasangan sejatinya karena memang bukan jodoh untuknya. Ah, aku jadi ingat bagaimana kau jatuh cinta pada seseorang dan tak tercapai cintamu itu. Dengan perempuan, laki-laki memang siap melakukan tiga hal: mencintainya, terluka karena cintanya, dan menjadikannya inspirasi karya sastra.
Pun bukan masalah besar mengenai pasangan itu. Sekali lagi, kau sedang menunggu saat yang tepat (atau orang yang tepat?). Bisa saja kau akan melupakan atau setidaknya tidak memikirkan tentang berkeluarga.Ingat yang kau katakan, manusia itu berproses dalam hidupya. Dan menikah serta berkeluarga, adalah salah satu proses kehidupan yang maha penting. Jangan kau biarkan dirimu terlena dengan kehidupan yang kau rasakan sekarang.
Dan, kau memang tidak terlena dengan kehidupan yang kau capai sekarang. Sengaja kau mengajakku ke lembah ini untuk mengucapkan kata perpisahaan. Pekerjaan dan uang adalah penting, namun semua akan sia-sia tanpa ada kepuasaan hati disana. Dan kau katakan padaku, bahwa kau ingin bekerja (atau mengabdi lebih tepatnya) di sebuah lembaga sosial yang menangani rehabilitasi Aceh pasca tsunami.
Antara bahagia dan heran aku tanggapi rencanamu itu. Bahagia, karena tidak semua orang punya itikad untuk melakukan pekerjaan sosial seperti itu. Jangankan untuk pergi ikut bersama menangani kondisi pasca bencana, untuk membuka mata hati atas ketimpangan di sekitarnya pun tidak semua orang bisa. Mulia, sungguh niat mulia yang kau punya untuk pergi ke Aceh.
Tapi aku juga heran, itu artinya kau akan meninggalkan semua yang kau dapat disini. Kehidupan mapan dengan pekerjaan yang prestis, ibu yang selalu mendo’akan dan tak berhenti mencurahkan kasihnya, teman serta sahabat yang selalu menyediakan diri berbagi dalam suka maupun duka. Kau akan tinggalkan semuanya. Benarkah, kau akan meninggalkan itu semua?
“Tapi, aku ingin benar-benar menjadi laki-laki“ Sekali lagi, kau ucapkan itu dalam suara mantap dan dalam. Tentu bukan tanpa alasan kaui ucapkan itu. Sebuah bahasa tersirat, bukan bahasa tersurat.
“Apa yang kau inginkan dengan manjadi laki-laki?“ sebuah pertanyaanku menyergap datang kepadamu.
“Seorang laki-laki, adalah manusia yang punya tanggung jawab, tangguh dan berani. Semuanya dalam keadaan yang lebih dan lebih lagi dalam setiap penggalan masa.“ Kau memulai untuk menjelaskan panjang lebar alasanmu.
Bagaimana laki-laki akan mempunyai tanggung jawab, jika tanggung jawab yang diemban sekarang tidak membuatnya merasa berat sehingga hidupnya benar-benar harus dipertaruhkan untuknya. Untuk tanggung jawab, kau tidak sepakat bila tanggung jawab sebagai suami atau ayah adalah jawaban. Ini adalah tanggung jawab terhadap orang lain, katamu. Dan kau katakan bahwa tanggung jawab yang paling tinggi kepada tanah yang diinjaknya. Aceh adalah bagian tanah kita yang sedang bangkit kembali, dan kau ingin mengambil tanggung jawab itu.
Lalu, laki-laki seharusnya tangguh dalam menghadapi kehidupan. Ketangguhan itu dilakukan, bukan dengan berdiam. Semakin mendapatkan sesuatu terpaan menggoncang, disitulah ketangguhan diuji. Dan kau tak merasa tangguh dalam kondisi nyaman, semua tercukupi seperti sekarang. Tidak memicu ketangguhan itu muncul, dalam wujud yang sejati. Dan laki-laki, tak pantas dalam kondisi yang seharusnya dirasakan oleh seseorang yang diayominya.
Laki-laki pun harus mempunyai keberanian, harus berani. Dan kau katakan untuk selalu menjalani hidup seperti dalam keadaan antara hidup dan mati, maka kita akan berani maju tanpa berpikir apa yang kita punya sekarang dan tidak takut untuk meninggalkan semuanya. Itulah yang dialami para serdadu, atau pejuang perang. Maju terus tanpa beban dan senantiasa menghargai hidup, karena sedetik kemudian bisa saja tertembus peluru dan nyawa pun meregang.
Tanggung jawab, tangguh dan berani. Ternyata itu kau cari, yang kau kejar dan ingin kau dapatkan. Kau ingin tanggung jawab lebih, kepada bangsamu. Kau sengaja lemparkan dirimu dalam kondisi selalu genting, sehingga tangguh itu terbentuk. Kau ingin antara ada dan tiada, lalu berani itu muncul.
Dan kau katakan yang paling membuatmu tersentak adalah ucapan pimpinan gerakan pembebasan Libanon suatu ketika, sesaat setelah Israel memborbardir daerah perbatasan hingga kota. Pimpinan itu berkata pada seluruh rakyat Libanon terutama kepada kaum prianya. “Jadilah laki-laki, sekalipun hanya untuk sehari.“
Aku diam, kau sudah katakan apa yang harus kau katakan.
“Kapan kau akan berangkat?“
”Besok. Secepatnya.“ Suaranya tercekak, dia menatapku dengan pandangan yang teduh, senyum hangat dan penuh sayang. Aku tak kuasa mendekap, memeluknya dan tak terasa kelopak mata terasa hangat oleh air mata yang mulai membasah.
Dan kau katakan lagi dengan mantap dalam dekapan.
“Aku ingin menjadi laki-laki“