Keduanya bernama depan Sigit. Dan keduanya menurutku, punya kemiripan sifat. Karakternya, kalem dan tenang. Cara bicaranya, runtut, pelan dan masuk. Cara jalannya, tegap dan pasti. Sorot matanya, tajam dan menandakan berpikir. Bawaanya, ransel punggung.
Yang pertama, Sigit Adi Prasetyo. Awalnya mengenal dari sebuah cerita, mantan Presiden KM ITB 1999-2001. Bicaranya sabgat ritmis, sepsrti mengikuti sebuah algoritma. Mahasiswa Informatika 95 ini sekarang sebagai karyawan bagian IT di sebuah perusahaan pertambangan. Kantornya di Menara Mulia. Terakhir melihatnya, awal oktober kemarin dalam sebuah acara di Bandung.
Kehidupannya sederhana, baju kemeja, celana kain dan sebuah tas ransel. Pernah bulan Juli lalu, aku mengantarkan ke rumahnya di daerah Jatiwaringin, Bekasi setelah beliau mengisi sebuah acara di Depok. Lewat Jakarta Outer Ringroad yang baru sekitar jam 00.30, kami melaju. Ketika aku bertanya, “ke kantor naik apa mas?”. Dijawabnya, “jalan kaki, ojek dan bus”.
Rumahnya biasa, dan cukup untuk ukuran seorang istri dan putri kecilnya. Ada sebuah mobil tua di garasinya. Pingin bicara banyak, tapi kami sama-sama letih. Beliau seharian bekerja, malam masih mengisi acara. Sedang aku, seharian jadi sopir.
Yang kedua, Sigit Wisnuadji. Mengenal sejak September kemarin karena sebuah pekerjaan proyek. Mahasiswa Arsitektur ITB 1993. sekarang sebagai direktur di sebuah kantor konsultan desain, dan beberapa pekerjaan proyek di luar yang dikerjakannya juga. Kami berinteraksi selama kurang lebih 2,5 bulan untuk proyek Feasibility Study beberapa obyek wisata di Pandeglang sampai tengah november ini. Beliau memimpin tim arsitektur, sedang aku memimpin tim TI.
Orangnya bersahaja, kemeja panjang, celana kain dan tak lupa juga ranselnya. Ukuran pimpinan kantor, menurutku cukup sederhana. Dan lagi, beliau adalah penerima Stuned (aplikasi beasiswa studi dari pemerintah Belanda), sebagai mahasiswa Groningen Universitet 2002-2004, bidang housing. Untuk yang satu ini, adalah alasan tersendiri aku berusaha banyak belajar darinya.
”Udah lulus kan? Jadi kapan undangannya?” pertanyaan yang sering dilontarkannya. Dalam hati, ”undangan apa? Wong mas sigit aja ke belanda dulu koq.” Lalu, banyak guyonan garing lainnya.
Rumahnya di dago, daerah komplek perumahan dosen itb, pastinya aku belum tau. Seorang istri, dan putri kecil. Sebuah sepeda motor karisma menemani aktivitasnya. Secara khusus, aku belum berinteraksi banyak dengannya. Kami hanya bertemu saat-saat forum koordinasi mingguan, sms, atau berangkat ke Pandeglang untuk presentasi. Tapi aku yakin, ada banyak yang bisa aku dapatkan darinya.
Dua orang Sigit, keduanya mirip. Tapi yang pertama, aku tak yakin beliau mengenalku. Tak apa. Bagaimanapun, senang bisa mengenal keduanya.