Monday, May 30, 2005

Melihat (kembali) Peran Kampus

Semua di dunia pasti berubah
Hanya perubahan sendiri yang tidak berubah


Perubahan sudah menjadi hukum alam di dunia ini. Sejak kecil sampai sekarang, kita sudah melalui banyak mengalami dan melihat perubahan-perubahan yang tampak maupun tak tampak. Bangsa inipun terbukti telah melakukan banyak transformasi struktural dan kultural seiiring zaman berlalu.

Tidak selamanya perubahan terjadi secara perlahan dan dalam waktu lama. Perubahan revolusioner pernah terjadi di muka bumi ini. Walaupun perubahan yng seperti itu lebih dekat kepada pertumpahan darah dan air mata. Setidaknya, melakukan perubahan besar dalam waktu cepat membutuhkan lebih banyak keberanian dan pengorbanan. Merubah kebiasaan adalah salah satunya.

Kebiasan dibentuk oleh tindakan yang berulang. Tindakan sendiri ditentukan oleh kemauan untuk melakukannya. Sebelumnya, pada tahap keyakinan seseorang meletakkan kerangka kemauannya. Sedangkan kebiasaan kontinu akan membangun karakter yang menghati dalam diri seseorang. Proses ini masih harus dibingkai dengan baik/tidak baik tindakan yang dilakukannya.

Dan masyarakat kita tampaknya belum memahami alur pemahaman seperti diatas. Seringkali permasalahan kecil dan singkat diremehkan, sehingga menjadikannya suatu karakter bersama di kemudian harinya. Euforia perubahan bangsa bukannya di jadikan momentum melakukan transformasi, tapi sebagai dalih kemerdekaan dalam bertingkah laku menurut persepsinya.

Fenomena tersebut ternyata terjadi hampir di seluruh kehidupan masyarakat, termasuk lingkungaan akademis (kampus). Banyak hal-hal baik saat pra-mahasiswa hilang hanya beberapa bulan setelah menyandang status mahasiswa. Perubahan menuju sesuatu hal yang pragmatis terjadi dalam tempo relatif cepat. Nilai-nilai universal seperti kemanusiaan dan kebangsaan harus tertatih-tatih menghadapi benturan budaya baru yang tidak semuanya baik. Lebih fatalnya, perubahan itu tidak hanya terjadi dalam tingkatan tindakan semata. Tapi jauh lebih dalam, masuk ke bagian visi hidupnya.
Sungguh ironis menyaksikan kampus yang (seharusnya) menjadi lumbung nilai-nilai universal, harus menyelenggarakan pendidikan yang tidak “memanusiakan manusia” itu sendiri. Manusia kampus dituntut untuk mengedepankan intelektualitas dalam setiap tindakan ilmiahnya, tapi ternyata melupakan sudut pandang sosial yang menjadi ruang tempat menerapkan ilmunya kelak.

Penguasan ilmu pengetahun dan teknologi (Iptek) menjadi parameter kesuksesan kampus. Sumber daya disalurkan sepenuhnya untuk menuju kampus masa depan sarat sains dan teknologi. Motivasi untuk meneliti dan mengembangkan iptek menjadi misi pendidikan yang dicanangkannya. Dampaknya adalah lingkungan kampus yang berorientasi pada kemampuan menguasai iptek setinggi-tingginya.

Perubahan paradigma yang dianut kampus-kampus tidak terlepas dengan tren dunia mutakhir. Gempuran globalisasi menuntut kampus untuk berbenah. Tuntutan industrialisasi sebagai salah satu syarat globalisasi ikut mempengaruhi arah pendidikan kita. Kurikulum dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar terhadap lulusan kampus. Jangan heran, bila kampus “sedikit” bergeser fungsinya menjadi pencetak sekrup-sekrup industri global karena parameter kemajuan suatu negara banyak dilihat dari perkembangan industrinya.

Fenomena “sekrup-sekrup globalisasi” ini mungkin bisa dilihat dengan survey Koran Kampus ITB yang diterbitkan februari 2003 terhadap 156 mahasiswa ITB bahwa 45% responden ingin bekerja di perusahan swasta, 18% menjadi wiraswasta, 13% menjadi dosen dan peneliti, 11% sekolah lagi, 4% aktif di LSM, 4% bekerja di pemerintahan dan 5% tidak tahu. Dari responden yang ingin bekerja pada perusahaan swsata, 73% ingin di perusahaan luar negeri dan hanya 27% yang menginginkan perusahaan domestik. Gejala apakah ini?

Sementara itu realita penguasan iptek di masyarakat kontras dengan kehidupan kampus. Masyarakat hanya dibiasakan untuk menjadi konsumen produk iptek, bukan sebagai penyumbang pengembangan iptek. Wajar bila kesan yang ditimbulkan bahwa teknologi itu adalah sesuatu yang sulit, meskipun akhir-akhir ini masyarakat kita familiar dengan produk-produk iptek.

Perkembangan teknologi kerakyatan (dalam hal ini direpresentasikan teknologi tepat guna) masih kalah jauh dengan perkembangan teknologi tinggi seperti IT dan nuklir. Selain kurang kondusifnya kebijakan terhadap industri berbasis teknologi kerakyatan, patut kita pertanyakan selama ini peran “inkubator iptek” yang menyebar di negeri ini. Institusi (baca :pergurusann tinggi) yang menyandang tiga tugas mulia sekaligus dalam perjalanannya yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Bukan suatu kesalahan bila masyarakat begitu berharap peran besar perguruan tinggi dalam mengembangkan teknologi sebagai penggerak usahanya.

Akhirnya, kesan yang ditimbulkan oleh teknologi kerakyatan adalah teknologi yang underdevelopment. Padahal, konon sentra industri / usaha kecil menengah (UKM) sebagai pemakai TTG tidak rentan dengan badai krisis multidimensi. Dan kemampuan menyerap tenaga kerja menjadi ujung tombak mengurangi permasalahan pengangguran indonesia. Keberadaanya yang meluas sampai pelosok negeri menjadi kelebihan sentra ini bila digunakan sebagai salah satu penopang perkembangan ekonomi nasional kita.
Dengan melihat kemampuan UKM diatas, perguruan tinggi yang banyak terdapat juga di kota-kota indonesia diharapkan perannya. Mungkin tidak semata karena pemerataan pendidikan saja, perguruan tinggi secara geoekonomi mendukung perannya dalam pengabdian masyarakat. Tidak serta merta salah, bila perguruan tinggi berorientasi pada kemampuan penguasan iptek setinggi-tingginya, dengan berperan besar dalam mengembangkan industrialisasi dengan dalih mengembangkan perekonomian. Namun kita harus cukup punya rasa “tahu diri” terhadap realita di masyarakat.

Masyarakat tidak akan meminta perguruan tinggi untuk membina dan mendampinginya secara terus menerus. Tidak juga meminta balas budi atas peran serta masyarakat langsung-tidak langsung dalam sejarah pendidikan. Toh, bila kemudian perguruan tinggi menganggap sebelah mata harapan mulia ini, masyarakat tidak akan berkeinginan untuk menuntutnya.

Seperti apa yang bisa dilakukan perguruan tinggi? Atau mencoba melihat dari sisi lain, bentuk peran perguruan tinggi yang diharapkan masyarakat. Yang harus dijadikan acuan awal adalah, perguruan diri harus memposisikan diri sebagai pendamping bukan pembimbing yang mengarahkan gerak UKM.

Menyampaikan teknologi harus mempertimbangkan sisi UKM. Penyampaian yang tidak melihat konteksnya akan menenggelamkan teknologi itu sendiri. Karena manusia belajar dari berbagai sisi kehidupan dengan metode yang khas. Ada yang dengan memakai landasan pengalaman dan tidak mau menerima hal-hal baru, namun ada juga yang open minded. Proses identifikasi permasalahan UKM harus juga memperhatikan konteks. Pemaksaan penerapan teknologi atas nama kemajuan malah bisa menurunkan efektifitas dan efisisensi usahanya. Contohnya penerapan Sistem Informasi Manajemen (SIM) kurang tepat bila digunakan di usaha menengah pengemasan susu murni. Mungkin dengan menerapkan prinsip-prinsip kaizen akan lebih sesuai.

Hal yang demikian inilah yang kurang dipahamai oleh kita dalam membantu UKM. Dengan keinginan membangkitkan semangat “Aufklarung” revolusi industri, kita gegabah memaksakan penerapan teknologi disana-sini dengan berlagak sebagai pembimbing (pahlawan) UKM. Jangan berharap, kita akan bertahan lama dalam usaha pengabdian masyarakat. Alih-alih yang ditanamkan adalah phobia terhadap semua bentuk bantuan teknologi yang diberikan kepada mereka ke depannya.

Dengan memahami konteks identifikasi itulah, baru kemudian kita bisa menggunakan metode kolaborasi iptek dan budaya masyarakat untuk membantu mengembangkan usahanya. Dengan kuantitas inkubator iptek (baca: universitas) yang menyebar di seluruh wilayah indonesia akan lebih mudah mengkombinasikan iptek dengan karakteristik lokal setempat. Disamping percepatan ekonomi makro yang dicapai, nuansa penelitian dan peran sosial (social role) kampus akan tereksploitasi.

Namun tampaknya, cita-cita diatas masih belum terbangun untuk direalisasikan atau sekedar wacana belaka. Karena paradigma kalangan kampus belum menunjukkan tanda-tanda mengarah kesana. Dan akhirnya, seperti di awal tulisan disampaikan bahwa merubah suatu kebiasaan itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Tidak cukup dengan suatu usaha temporal, tapi usaha yang berkesinmbungan. Apalagi kebiasaan itu menggunakan alasan demi “keberlangsungan hidup” sebagai perisainya. Dan lebih dari itu bila sudah merupakan kultur yang dibangun dalam sistem pendidikan kita, tunggulah saatnya ibu pertiwi meratap sedih karena sempat melahirkan putra-putri terbaik bangsa yang hanya akan menjadi sekrup-sekrup globalisasi masa depan.
Bapak Amerika Serikat, Abraham Lincoln pernah berujar, “Banyak hal yang mungkin datang kepada mereka yang menunggu, tetapi itu hanya hal-hal yang disisakan oleh mereka yang bekerja keras.”

Jika negara lain bisa maju dan mengejar ketertinggalan dengan berbasiskan teknologi kerakyatan, maka dengan keyakinan dan kemauan bersama, kita bisa memulai untuk mewujudkannya. Bukan untuk kita, tapi untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater...

Friday, May 20, 2005

Jarum Dalam Jerami

“Dan jika kalian bertiga, maka hendaklah salah seorang (di antara kalian) memimpin”

Menjadi seseorang yang hidup di tengah-tengah manusia lainnya adalah hal yang fitrah di dunia ini. Dan yang kemudian muncul adalah keinginan untuk saling berinteraksi, berbagi dan melengkapi. Tapi kadang kebutuhan tersebut dihancurkan oleh emosional pribadi yang sifatnya sesaat. Oleh karena itulah, Islam memandang perlu peran seorang pemimpin dalam menjaga berjalannya dimensi sosial manusia secara harmonis.

Pemimpin bagi seorang muslim seperti layaknya kepala bagi tubuh. Inilah yang menentukan seluruh tujuan dan di sini pula tempat berkumpul segala informasi. Pemimpin juga merupakan lambang kekuatan, keutuhan, kedisiplinan dan persatuan. Namun harus kita sadari juga bahwa pemimpin bukanlah hanya sekedar lambang. Karena itu, ia memerlukan kompetensi, kelayakan dan aktivitas yang prima untuk memimpin anggotanya.

Melihat esensi kepemimpinan, sebagai muslim tentu tidak bisa sembarangan dalam memilih pemimpin. Jangan sampai perilaku “memilih kucing dalam karung” menghantui kita. Apalagi dalam kehidupan demokrasi seperti sekarang ini, dimana setiap suara pemilih dinilai sama. Sehingga dibutuhkan peran serta lebih kaum muslimin dalam menentukan pemimpinnya. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang menyerahkan urusan kaum muslimin kepada seseorang padahal ia tahu ada yang lebih pantas mendudukinya, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan orang mukmin (H.R Hakim).

“Barangsiapa mengangkat seorang laki-laki (untuk suatu jabatan) berdasarkan sikap pilih kasih, padahal ada di kalangan mereka orang yang diridhai Allah darinya, maka sesungguhnya ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan orang mukmin (H.R Al-Hakam, Suyuthi menshahihkannya).

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang membuat seseorang disebut sebagai pemimpin. Secara bahasa, pemimpin (Leader) adalah somebody whom people follow: somebody who guides or directs others by showing them the way or telling them how to behave; somebody or something in the lead: somebody or something in front of all others, for example, in a race or procession; somebody in charge of others: the head of a nation, political party, legislative body, or military unit (Microsoft® Encarta® Reference Library 2003).

Dalam bukunya Manusia Pembelajar, Andreas Harefa menarik perhatian kita dengan mengatakan bahwa Pemimpin adalah manusia, tetapi tidak semua manusia itu pemimpin. Sehingga, ada benarnya, jika sebagian orang beranggapan pemimpin itu dilahirkan bukan diciptakan. Karena memang tidak semua orang membawa karakter kuat sebagai seorang pemimpin, misalnya kita kadang merasakan aura kepemimpinannya. Lebih jauh lagi disebutkan dalam buku tersebut bahwa terdapat perbedaan signifikan antara pemimpin dan manajer. Singkatnya bahwa manajer dan manajemen berurusan dengan things: benda, struktur, sistem dan efisiensi. Sedangkan pemimpin berurusan soal efektivitas, mengurus people dan memberdayakan potensinya.

Jika ada yang berpandangan bahwa dalam organisasi terjadi bias antara pemimpin dan manajer, maka berdasar pengertian diatas pemimpin adalah orang yang mampu membuat orang yang dipimpinnya melakukan sesuatu untuk sebuah tujuan bersama. Jadi tetap faktor manusia-lah sebagai komponen utama organisasi. Itulah yang senantiasa dijaga dalam islam yaitu dengan memilih pemimpin yang mendapat dukungan dari entitasnya.
“Sebaik-baik pemimpin kamu adalah orang yang kamu cintai dan merekapun mencintai kamu, kamu menghormati mereka dan merekapun menghormati kamu…” (H.R Bukhari dan Muslim)

Karena pemimpin bukanlah seseorang yang datang dari langit yang kemudian turun ke bumi, tercipta sekejap mata, maka dibutuhkan terpaan badai waktu untuk membuktikan bahwa karakter pemimpin memang pantas dilekatkan padanya. Penglihatan manusia bebarapa saat saja tak akan cukup untuk menemukan hakikat kepemimpinannya. Pengamatan yang dilakukan secara integral mulai dari aqidah, kepribadian dan tingkah laku dimulai saat kepemimpinannya terlihat di masa lampau. Seperti Amr bin Ash memaknai ketrampilan pemimpin: Jika seorang pemimpin tahu bagaimana memasuki suatu urusan, maka ia harus tahu bagaimana keluar dari urusan itu. sesempit apapun jalan keluar tersebut. Disinilah kepemimpinan masuk ke wilayah pembangunan dan pendalaman karakter kepemimpinan yang tidak bisa dilakukan secara singkat. Karena kepemimpinan bukanlah urusan kompetensi dan kelayakan semata, tapi juga nafas aktivitas yang prima dan keteguhan hatinya menjalankan prinsip-prinsip mulia.

Dan yang lebih indah, ketika Islam memberikan pedoman untuk bersikap kritis terhadap pemimpin kita. Sebuah mekanisme demokrasi santun yang menunjukan bahwa Islam tidak berhenti dalam proses pemilihan semata. Karena, jihad yang paling besar ternyata adalah menyatakan keadilan dan kebenaran terhadap pemimpin yang zhalim. Bukan suatu kemustahilan bila pemimpin kita melakukan kesalahan. Saat seperti itu, yang kita lakukan adalah ketidaktaatan karena “Tidak ada kewajiban patuh kepada siapapun di dalam urusan maksiat kepada Allah…”(H.R Ahmad).

Sebagai penutup, bagi pemimpin dan calon pemimpin masa depan. Amanah yang saudara emban bukanlah suatu kemegahan dan kebanggaan. Bahkan sampai beratnya beban amanah, Khalifah Umar bin Khatab memberikan sebuah ungkapan, Saya sudah cukup senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas; tidak mendapat dosa dan tidak pula mendapat pahala. Jadikan janji Allah memasukan pemimpin yang adil dalam surga-Nya sebagai sumber energi hidup. Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi siapapun pemimpin untuk memiliki kharakteristik kepribadian Islam dengan cakrawala pandang yang luas di jalan keteguhan hati mencapai ridha Allah Swt semata.

Dan bagi kita yang akan melakukan pemilihan pemimpin dan selanjutnya akan dipimpin, marilah kita sadari bahwa kesempatan kita hanya sekali untuk melakukan pilihan dengan tepat. Karena setelah itu, kemampuan kita dalam menentukan arah kepemimpinan tidak sekuat di saat kita memilih. Setidaknya, kita telah berusaha sekuat tenaga melakukannya dan yang pasti pertanggungjawaban pilihan kita oleh Allah Swt. Oleh karena itu, akan senantiasa dibutuhkan seorang muslim yang mampu menentukan pilihannya secara cerdas dan tepat. Karena ternyata setiap haripun, kita telah menegakan filosofi dasar kepemimpinan yang luar biasa dalam shalat berjamaah. Ada benarnya yang disampaikan Anis Matta dalam Serial Kepahlawanan-nya bahwa mereka (ternyata) tidak akan pernah datang. Mereka bahkan sudah ada disini (dan) Mereka besar di lingkungan kita. Selamat ber-istikharah…… Wallahu’alam

Wednesday, May 18, 2005

Idealisme Kami

Betapa inginnya kami agar bangsa ini mengetahui bahwa
Mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri.

Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur
Sebagai penebus bagi kehormatan mereka,
Jika memang tebusan itu yang diperlukan.

Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan,
Kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita mereka,
Jika memang itu harga yang harus dibayar

Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini
Selain rasa cinta yang telah mengharu biru hati kami,
Menguasai perasaan kami,
Memeras habis air mata kami, dan
Mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami.

Betapa berat rasa di hati ketika kami menyaksikan bencana
Yang mencabik-cabik bangsa ini,
Sementara kita hanya menyerah pada
Kehinaan dan pasrah oleh keputusasaan

Kami ingin agar bangsa ini mengetahui bahwa
Kami membawa misi yang bersih dan suci,
Bersih dari ambisi pribadi, bersih dari kepentingan dunia,
Dan bersih dari hawa nafsu.

Kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia,
Tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya
Tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih.

Yang kami harap adalah
Terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat
Serta kebaikan dari Allah-Pencipta alam semesta

Tuesday, May 10, 2005

Reality Show dan Nilai Kebenaran

Hampir semua channel stasiun televisi Indonesia selama dua tahunan ini marak dengan sebuah format acara baru yang menarik. Acara tersebut adalah acara yang mendasarkan idenya pada kenyataan yang terjadi. Namun, kenyataan yang diambil adalah kenyataan praktis sesuai tujuan dari acara tersebut. Atau dalam istilah media, format acara tersebut dinamakan reality show. Rangkaian acaranya secara garis besar, seorang yang diminta melakukan sesuatu dan di-shoot. Setelah selesai, orang tersebut baru mengetahui apa yang dilakukan atas dirinya (kesadaran di akhir). Contoh-contoh jenis acara reality show, acara yang menunjukan fenomena kegaiban (dunia lain, uka-uka), percintaan dan anak muda (katakan cinta, H2C), memberikan pertolongan secara tiba-tiba (bongkar rumah, tolong) atau hanya untuk kesenangan atau iseng (bule gila, spontan).

Dari sudut pandang televisi sebagai media komunikasi massa, fenomena tersebut menjadi perhatian serius bagi kalangan pemerhati efek social-kultural komunikasi massa. Dalam bahasa yang sederhana, komunikasi adalah berhubungan antara minimal dua pihak. Sedangkan komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media besarta pesan yang dihasilkan, pembaca/pendengar/penonton yang akan diraihnya, dan efeknya terhadap mereka (Nurudin, 2003). Dan dalam tulisan ini, kita akan bersama melihat reality show dari kerangka teori komunikasi massa.

Perkembangan komunikasi manusia diawali ketika manusia hidup. Saat itu, komunikasi dilakukan dengan isyarat atau tanda-tanda. Dalam istilah para sastrawan (seperti Paulo Coelho, Seno Ajidarma), tanda atau symbol ini sering disebut sebagai “bahasa buana”, karena sifatnya yang universal (lintas batas). Bahasa yang tidak perlu diucapkan karena manusia sudah saling bisa memhamainya. Dari symbol ini, komuniaksi berkembang ketika manusia menemukan bahasa dalam artian yang kita sampai sekarang. Inilah dinamakan dengan era komunikasi lisan. Perkembangan berikutnya, manusia mengenal tulisan. Hal yang menjadikan masa komunikasi dalam kekemasan adalah ketika masyarakat Cina mengenal kertas. Kemudian berkembang ke tingkatan komunikasi berikutnya, saat ditemukan mesin cetak olah Guttenberg di masa revolusi industri. Dan ini disebut sebagai zaman cetak.

Sekarang tahapan komunikasi sudah masuk dalam zaman yang lebih diatasnya lagi, yakni zaman komunikasi massa. Zaman ini ditandai dengan banyaknya media komunikasi yang memborbardir kehidupan masyarakat dan individu sampai dalam urusan privasi. Sasarannya dari kehidupan bangun tidur hingga berangkat tidur kembali, dari anak sampai orang tua, dari kehidupan sumur-dapur-kasur sampai kehidupan meeting kelas tinggi. Kemampuann ini juga dibarengi dengan semakin cepatnya informasi dari seluruh dunia diketahui oleh manusia di belahan dunia lainnya.

Dengan kenyataan tersebut, fungsi komunikasi yang awalnya murni sebagai penghubung antara pengirim pesan dan penerimanya menjadi melebar. Komunikasi selain berfungsi sebagai sarana informasi, hiburan dan persuasi, meluas juga fungsinya menjadi transmisi budaya, mendorong kohesi social, pengawasan (kejadian di lingkungan), korelasi (antar bagian masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya) dan pewarisan sosial. Transmisi budaya maksudnya menjadi sarana bergesernya nilai, norma budaya masyarakat. Hal inilah (dan pendorong kohesi social) yang sebenarnya menjadi fungsi terbesar yang dirasakan dewasa ini. Sedangkan pewarisan budaya maksudnya media sebagai pendisik yang mewariskan informasi, ilmu pengetahuan, nilai, norma ke generasi berikutnya.

Kembali dalam kaitan dengan reality show, televisi sebagai bentuk komunikasi massa juga secara otomatis melkukan fungsi seperti diatas. Sebuah reality show (sesuai karakteristik sekarang) akan menjadi sarana transmisi budaya, misalnya dari yang malu saat berdandan seronok dulunya, menjadi tidak malu karena factor uang dan ketenaran. Bergeser pula makna kehidupan pribadi seseorang menjad wilayah pubilk. Ini pula yang dikemukakan oleh Taylor (1856-1915), dimana manusia adalah makhluk rasional yang mau melakukan apa saja demi imbalan yang pantas. Transmisi dalam reality show lebih besar mendorong dalam budaya yang permisif, pubicitas, materialis, budaya iseng/jahil daripada fungsi menghibur atau fungsi lainnya.

Sedangkan, dalam teori komunikasi massa terdapat sedikitnya dua aliran besar yang berbeda dalam melakukan pendekatan. Madzab pertama, menyatakan dengan toeri peluru (Hypodermic needle theory) dimana audiences (penerima pesan) tidak bisa menghindari peluru yang ditembakan secara tepat sasaran oleh pengelola media. Disini seolah-olah pengelola media lebih pintar dari audiences, sehingga ketika audiences ditembak tidak mampu menghindarinya. Teori ini berkembang terutama saat krisis damai di dunia karena perang (kurang dari tahun 1960-an), dan opini media mampu membangun opini public keseluruhan. Dari teori ini, juga terdapat beberapa turunannya. Salah satunya yaitu cultivation theory, dimana televisi dianggap media yang memilki dampak terluas. Kritik terhadap jenis teori ini adalah, kesamaan yang terjadi antara yamng ditembakan media (televisi misalnya) mungkin adalah sebuah kebetulan karena banyak factor yang mempengaruhinya, dan salah satunya adalah media. Konstruksi realitas social, lebih banyak ditentukan oleh manusia sendiri yang memilki keputusan.

Madzab berikutnya berbicara bahwa audiences sekarang bersifat selektif dalam menerima informasi yang diterimanya, antara menerima atau mempertimbangkan bahkan menolaknya.penonton juga memutuskan melalui media mana ia akan menjalin komunikasinya. Hal ini karena tidak semua orang sama dalam pemanfaatan media. Misalnya, Mtv hanya disukai oleh anak muda. Sedangkan Koran. Digunakan oleh orang yang ingin membaca berita dalam bentuk tulisan.

Diantara dua liran besar diatas, manakah yang akan dipakai dalam melihat reality show? Menurut penulis pribadi, dalam beberapa hal keduanya bisa dipakai sekaligus. Reality show telah menunjukan kepada kita segala yang sebelumnya kita tidak terlalu mau tahu, yaitu perasaan orang (secara nyata) jika diberikan sesuatu. Kesadaran akhir ini bagi audiences akan mempengaruhi persepsi tentang situasi orang dalam keadaan tersebut. Dari persepsi ini, mereka akan melakukan dua hal seperti dalam teori diatas, menelan mentah-mentah atau bersikap selektif.

Tapi setidaknya, audiences tidak bisa lari atau menghindar dari peluru jika ia menonton reality show. Saat kemuadian ia melakukannya, maka aka terjadi benturan antara apa yang benar, apa yang kita anggap benar dan apa yang sedang bekerja. Berbicara kebenaran menurut Julian Baggini seperti halnya relativisme Albert Einstein. Segala sesuatu yang kita anggap benar -padahal itu tidak sesuai dengan yang bekerja-, belum tentu itu benar secara absolut. Sedangkan kebenaran itu sendiri terdapat dua pendangan, antara kebenaran realis dan nonrealis.

Kebenaran realis menegaskan bahwa kebenaran itu ada, apakah kita mengetahui atau tidak; kebenaran itu nyata dan berdiri sendiri dari kita. Kebenaran nonrealis berpandangan bahwa kebenaran tidak bergantung pada kita, sekedar menunggu untuk ditemukan. Sesuatu yang secara intelektual sangat sederhana. Kebenaran tidak pernah berada “di luar sana”, dan dengan cara tertentu ia menunggu diciptakan oleh bahasa, masyarakat. Individu ataupun budaya.

Sehingga dalam menilai reality show, harus teliti melihat sesuai dengan filosofis kebenaran diatas. Jika survey lembaga AC Nielsen (lembaga survey terkemuka tentang program stasiun televise) menyebutkan bahwa masyarakat menyukai reality show, maka kemauan publik belum tentu mencerminkan kebenaran itu sendiri. Harus ada sebuah “survey” yang secara inferensi bisa mengidentifikasikan efek dari program-program tersebut. Dan paradigma ini yang jarang dipakai oleh pengelola stasiun televise dalam menyusun program acara. Padahal, sebuah program acara akan ambil bagian dari transmisi budaya. Dan kalau boleh menuduh, pengelola stasiun televisi lah yang bertanggung jawab terhadap kondisi budaya bangsa saat ini, baik budaya baik maupun budaya buruk.

Disini, penulis setuju dengan pandangan yang menyatakan bahwa televisi adalah “lingkungan simbolik”. Televisi tidak hanya merefleksikan kejadian sehari-hari di sekitar kita, tapi dunia itu sendiri. Sehingga benar yang dikemukakan Garin Nugroho, bahwa televisi telah menjadi dunia multikanal dalam hidup manusia Individu yang menonton televisi tanpa motivasi dan perencanaan sebelumnya lebih gampang untuk melupakan apa yang dilihatnya daripada mereka yang menonton televisi dengan motivasi dan perencanaan.

Terakhir, penulis teringat dengan ungkapan Marshall McLuhan, “ kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan tersebut membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”. Manusia sendiri lah yang sebenarnya berhak memutuskan tentang peradabannya, bukan pengetahuan, teknologi atau manusia zaman lampau. Itulah yang lebih memuliakan manusia dari makhluk lainnya di muka bumi ini. Semoga…

Thursday, May 05, 2005

Mengintip Pornografi dan Pornoaksi

Perjalanan pornografi dan pornoaksi bangsa ini sangat menarik untuk disimak. Menarik bukan kerena materai yang disimaknya adalah wilayah yang bertemakan cukup “panas” dan membuat rasa ingin tahu hampir semua orang. Menarik bukan juga karena banyaknya media yang meng-customize sedemikian rupa sehingga itu semua diatasnamakan sebagai kebebasan pers dan hak azasi manusia sang pelaku. Dan tentu bukan pula menarik karena pemerintah ternyata juga terkesan “canggung” untuk menangani hal ini.Hal tersebut menarik karena ternyata kita semua yang terlibat dalam polemik ini memilki definisi dan persepsi yang berbeda dalam melihat pornografi dan pornoaksi (pornograksi). Dan sepertinya itu sudah ada sejak manusia mulai mempertentangkannya.

Jadi, ada sebuah pertanyaan sederhana berikut : “sejak kapan manusia mengenal sesuatu yang bersifat porno?” saya pikir pertanyaan itu sulit untuk ditemukan jawabannya dalam seluruh literatur sejarah dunia. Disamping kita tidak bisa memastikan apakah kala itu, hal yang kita maksud porno sudah mereka persepsikan sebagai hal serupa, kita juga tidak bisa benar-benar memulai titik awal sejarahnya karena keterbatasan literatur yang membahas. Misalnya jika bangsa mesopotamia tidak pernah meninggalkan hal yang kita maksud, apakah berarti mereka tidak mengenal dan mengalami dunia ke-porno-an menurut mereka. Atau budaya Jawa kuno yang mengenal kitab kamasutra, apakah kitab itu dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang porno?

Keterbatasan-keterbatasan itu yang membuat saya memberikan sebuah anggapan bahwa manusia mengenal hal porno ketika mereka mulai hidup membentuk komunitas dimana sudah ada aturan-aturan yang mereka sepakati. Disitulah sudah ada pemisahan antara barang pribadi dan milik umum. Sehingga wajar menurut saya bila mereka juga merasa bahwa ada sesuatu dari dirinya yang tidak diperlihatkan kepada orang lain. Dari titik inilah, timbul “masalah” ketika ada yang memperlihatkan hal “pribadinya” maka mulai ada ketidakwajaran. Ketidakwajaran, ketidaksopanan ini yang menjadi landasan manusia dalam membentuk pandangan berpikir mengenai kepornoan.

Lalu apa yang dinamakan porno itu sendiri? Saya menafsirkannya secara sederhana seperti dalam gambaran diatas, bahwa porno adalah hal-hal yang menggambarkan kepada khalayak “daerah-daerah” pribadi atau yang berkaitan dengannya dan dinilai tidak sopan oleh orang lain. Jadi ada tinjauan yang khas. Bahwa mempertunjukan itu dinilai porno jika dinilai tidak sopan oleh orang lain. Tentu tidak porno jika itu, pertama hanya untuk konsumsi pribadinya dan kedua khalayak tidak menganggap hal itu porno. Untuk yang pertama, hampir seluruh etika yang ada sepaham dengan hal tersebut. Yang kedua, terjadi polemik karena banyaknya lanskap manusia yang disertakan. Bagaimana jika hanya sebagian khalayak yang menganggap porno suatui hal, apakah itu juga bisa disamaratakan bahwa hal itu porno?

Artinya, diskursus ini menjadi menyempit pada masalah batasan atau parameter tentang kepornoan sendiri. Taruhlah Indonesia untuk lebih mudahnya. Batasan yang berbeda inilah yang sejak dulu (di Indonesia terutama sejak dikenalnya televisi) tidak mampu memberikan solusi atas polemik ini. Jika selama ini masih ada anggapan dari kalangan liberalis bahwa masalahnya ada di persepsi tiap individu, hal itu tidak selamanya benar. Karena kumpulan individu itu membentuk komunitas yang bernama Indonesia dan berarti harus ada aturan tentang itu. Atau jika beranggapan masalahnya ada di pemerintah yang sampai sekarang belum mampu menghadirkan aturan itu, hal itu pun harus dilihat dari sisi lainnya. Yaitu sulitnya menemukan sebuah hal yang paling esensi, yakni pagar batas kepornoan.

Dan kemudian masalah itu seakan-akan dilimpahkan seluruhnya ke masyarakat sendiri. Bagaimana masyarakat menanggapi peristiwa-peristiwa yang dianggapnya sebagai bentuk ponografi dan atau pornoaksi (pornograksi). Pornografi bila kepornoan melalui media kertas dan pornoaksi bila hal itu ditunjukan ke khalayak secara langsung-kasat mata. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa menjadi penyebabnya. Pertama, bahwa masyarakat sendiri adalah plural, baik dari segi pendidikan, pemahaman dan pegangan etika-moralnya. Artinya jika ada seorang beranggapan bahwa sebuah tayangan tv (misalnya) sudah mengarah ke dalam bentuk pornograksi, belum tentu semua orang yang melihatnya beranggapan seperti itu. Dan begitu pula sebaliknya, kumpulan orang beranggapan bahwa tayangan itu wajar-wajar saja, tapi bagi orang lain itu sudah menjadi bentuk pornograksi.

Kedua, bahwa sekarang ini yang berkuasa dalam penyebaran dan pembentukan opini adalah media massa. Ketika sebuah saluran publik ditentukan oleh kepentingan pihak tertentu, maka content-nya pun ditentukan oleh pihak tersebut. Dan kepentingan abadinya adalah profit (modal). Artinya pihak modal yang menjadi penguasa media dalam membentuk opini (dan membentuk budaya) di masyarakat. Semuanya ditujukan demi eksploitasi modal sebanyak-banyaknya. Akibatnya, pertimbangan-pertimbangan lainnya seringkali dinafikkan. Mirip dengan teriakan Garin Nugroho (seniman film) bahwa kita sedang memasuki dunia baru dalam sebuah industri media multikanal. Sehingga kekuatan media yang dilandasi atas modal lah yang menjadi penguasanya.

Dari kedua sebab diatas, terdapat cukup alasan jika polemik ini seolah-olah seperti benang kusut tak berpangkal. Semuanya berdalih dengan kepentingannya masing-masing. Bagi yang mempertahankan budaya ketimuran, tidak ada kesempatan dengan alasan apapun untuk pornograksi. Bagi kalangan yang menyebut dirinya pembebas manusia (liberalis), itu semua dikembalikan ke individu masing-masing. Silahkan bagi yang mau terlibat dalam pornograksi dan bagi yang anti terhadapnya, itu adalah pilihan pribadi dan harus siap dengan konsekuensinya. Bagi pihak neo-kapitalis, apapun dilakukannya semata-mata untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya. Baik atau buruk menurut pandapat masyarakat, tidak menjadi masalah demi tujuan itu.

Benang kusut itu yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mencari solusi tepatnya. Solusi yang tidak didasarkan atas kepentingan ketiga pihak tersebut, melainkan solusi tepat yang berlandaskan situasi dan kondisi (value) bangsa ini. Dari penjelasan diatas, sudah terdapat beberapa hal yang menjadi pegangan kita dalam melihat hal ini. Bahwa kepornoan akan menjadi pornograksi bila ditampilkan ke khalayak melalui media apapun dan selanjutnya itu menjadi masalah. Hal itu bukan berarti bahwa penyebaran kepornoan secara sembunyi-sembunyi dan hanya dikonsumsi pribadi dibolehkan. Misalnya dalam kasus gambar dan vcd porno ilegal.

Mengenai batasan yang menjadi sumbernya, hendaknya sikap bijak dalam melihat pornograksi menjadi frame-nya. Cukuplah banyak peristiwa pelecehan seksual yang dilatarbelakangi oleh pornograksi menjadi alasan dalam menetukan batasan itu. Tidak perlu memperdulikan banyaknya suara yang berkomentar tentang kebijakan yang diambil. Sebuah aturan yang mampu membatasi eksploitasi tubuh manusia atas nama apapun. Aturan yang berlaku tidak hanya bagi kaum hawa yang selama ini identik dengan pornograksi, tapi juga kaum pria yang ternyata juga melakukannya. Semuanya demi menyelamatkan moral Bangsa Indonesia. Karena tanpa moral, mustahil kita mampu melaksanakan segala cita-cita besar bangsa ini.

Monday, May 02, 2005

Cita-cita Pendidikan bagi Semua Anak Bangsa

Pendidikan Indonesia menurut sejarah dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara dengan berdirinya sekolah Taman Siswa pada tahun 1922. Sehingga sebenarnya pendidikan kita telah berusia lebih dari 80 tahun. Walaupun pada tahun-tahun sebelumnya, Belanda dengan politik etisnya telah menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Namun, pendidikan yang diterapkan adalah pendidikan kolonial, bukan pendidikan Indonesia.

Perjalanan pendidikan Indonesia mengalami pasang surut seiring kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah kemerdekaan Indonesia pun, wajah pendidikan kita belum menampakan harapan besar sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 (mencerdaskan kehidupan bangsa) dan pasal 31. namun, usaha untuk memajukan kehidupan akademik Indonesia sudah dirintis dengan berdirinya perguruan tinggi negeri di kota-kota besar mulai tahun 1950-an.

Selama orde baru, pendidikan kita mengalami perkembangan menarik. Hal tersebut karena pendidikan nasional diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan pendirian sekolah-sekolah baru yang tersebar di seluruh indonesia. Dan selama itu pula, hak pendidikan bagi rakyat sesuai dengan UUD 1945 dirasakan tidak hanya oleh masyarakat perkotaan, tapi juga masyarakat daerah. Fenomena “booming” lembaga pendidikan di daerah-daerah di satu sisi memberikan kesempatan pendidikan yang terjangkau bagi rakyat Indonesia. Namun di sisi lain, esensi dan nilai luhur dari pendidikan itu sendiri cenderung diabaikan.

Yaitu tugas utama pendidikan bergeser dari kewajiban membentuk seorang individu manusia, menjadi kewajiban membentuk seorang warga negara. Sehingga individu yang terbentuk oleh pola pendidikan adalah individu yang kehilangan makna dirinya sebagai seorang manusia merdeka. Atau dengan kata lain, individu yang tunduk pada kehendak penyelenggara pendidikan dalam hal ini pemerintah (sentralisme). Hal yang menurut Ignas Kleden disebutkan pula, adanya pergeseran dari cita-cita kemajuan seluruh umat manusia menjadi kemajuan negara, sedangkan fungsi kebudayaan dan pendidikan digeser menjadi fungsi politik atau lebih khusus lagi oleh civic function.

Hal yang secara kuantitas (statistik), pendidikan orde baru menghasilkan kenaikan signifikan jumlah manusia didik seperti ditunjukan tabel di bawah ini (tabel 1):
Selected Indicators 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
School Enrolment (%)
Population aged 7-12 years 94.06 93.9 94.43 95.37 95.07 95.34 95.5
Population aged 13-15 years 72.38 73.2 75.84 77.51 77.31 79.04 78.7
Population aged 16-18 years 45.31 44.6 47.59 48.64 49.52 51.14 49.1
sumber: BPS dengan pengolahan

Sedangkan angka melanjutkan ke perguruan tinggi tahun 2001/2002 “hanya” mencapai 48.13% dari jumlah lulusan Sekolah Menegah tahun itu (Statistik Depdiknas). Dengan asumsi usia 16-18 tahun adalah usia pra-PT dan prosentase lulusan tahun 2001 tidak jauh berbeda, maka prosentase yang melanjutkan ke PT sebesar 23.63% dari populasi Indonesia usia 16-18 tahun. Angka yang sangat kecil untuk kaum intelektual melihat besarnya jumlah penduduk indonesia (dari berbagai sumber yang didapat, hanya sekitar 2% dari penduduk Indonesia).
***

Angin reformasi yang berhembus dalam kehidupan bangsa tahun 1998 membawa ekses bagi dunia pendidikan. Kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang mampu menjawab tantangan masa depan diwujudkan dengan amanat pendidikan dalam UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (HAM) dan UU No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Bahkan pendidikan semakin terejawantahkan dengan hadirnya UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Terlepas dari polemik agama yang menyertai pembuatannya, UU yang menggantikan UU No 2 Tahun 1989 ini memberikan harapan baru dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, bukan dalam rangka semata-mata meredam keinginan masyarakat.

Pendidikan sebagai variabel yang tidak pernah bisa terlepas dari kondisi sosial politik bangsa akhirnya ikut menjadi korban. Dimulai dengan anggaran pendidikan yang menurut UU tersebut sebesar 20% dari anggaran pemerintah, tidak pernah mencapai separuh dari alokasi tersebut. Di masa kekinian, Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2004 seakan menjadi cerminan wajah pendidikan nasional. Fenomena yang menggambarkan bahwa pola pendidikan indonesia tidak jauh berubah dengan berlakunya UU tersebut. Dan UAN 2004 adalah sebuah titik kulminasi dari permasalahan pendidikan nasional selama ini.

Pendidikan nasional yang selama orde baru begitu sentralis dalam UU Sisdiknas mulai dieliminasi dengan adanya ketentuan bahwa pendidikan nasional diarahkan ke dalam pendidikan berbasis masyarakat, yaitu penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat (Pasal 1 ayat 16). Oleh karenanya, masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat (Pasal 55 ayat 1).

Sedangkan UAN yang adalah bentuk pengembangan kurikulum pendidikan, dilaksanakan terpusat (Jakarta centris) tanpa adanya partisipasi dari masyarakat dan mengabaikan kekhasan, lingkungan sosial-budaya serta potensi daerah. Dalam persepsi kurikulum sendiri, UAN juga menyalahi ketentuan Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas yang menyatakan: kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Disini terlihat bahwa peran satuan pendidikan (sekolah) hanya sebatas penyelenggara UAN.

Akhirnya, cita-cita pendidikan yang adil bagi seluruh rakyat menjadi tergadaikan. Karena keadaan pendidikan di Indonesia berbeda di masing-masing daerah. Mustahil bila kemudian pemerintah menyamaratakan kemampuan pelajar dengan UAN yang terpusat seperti dulu lagi.

Perbedaan itu sah-sah saja sepanjang sesuai dengan nilai luhur pendidikan yang membebaskan manusia menuju kemerdekaannya. Dan bila demikian yang menjadi nilai luhurnya, maka UAN (dan pola pendidikan nasional keseluruhan) sendiri tidak lain telah melanggar prinsip-prinsip ilmu kependidikan. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (pskomotorik) dan sikap (afektif). Sedangkan UAN (dan pendidikan nasional selama ini) hanya menilai satu aspek kemampuan saja yaitu kognitiif. Kedua aspek yang lain tidak dujikan sebagai penentu kelulusan. Dengan demikian UAN telah melanggar prinsip-prinsip kependidikan. Kenyataannya, penentu kelulusan bukan ketiga aspek tersebut yang berada di wilayah sekolah (satuan pendidikan), melainkan pemerintah dengan nilai rata-rata batas bawahnya (4.01).

Kontroversi UAN tersebut, kemudian ditanggapi secara reaktif oleh pemerintah dengan kebijakan konversi nilai UAN baru-baru ini. Dengan dalih bahwa konversi ini bertujuan mewujudkan keadilan bagi peserta UAN, yang terjadi hanya pemandangan “katrol-mengkatrol” nilai yang lazim dalam dunia pendidikan kita. Pada prinsipnya, konversi ini lebih kearah mengangkat nilai di bawah batas kelulusan. Sedangkan peserta yang mendapatkan nilai tinggi harus dikurangi atas nama keadilan tadi. Tentunya, angka kelulusan menjadi naik dan kekhawatiran dampak penurunan angka kelulusan terhadap kenaikan nilai kelulusan dari 3.01 menjadi 4.01 tidak terbukti.

Mengenai biaya pendidikan sesuai dengan amanat pasal 49 UU Sisdiknas, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD di masa sekarang seperti mimpi indah di siang hari. Dengan dalih bahwa setidaknya sudah ada itikad untuk menaikan anggaran pendidikan, ternyata itikad saja tidak cukup. Rakyat membutuhkan peran nyata pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang adil dan merata di seluruh Indonesia. Lihatlah kondisi sekolah-sekolah dasar di pelosok tanah air yang membentang dari sabang sampai merauke, sudah layakah pendidikan bagi rakyat? Jangankan di pelosok nan jauh di timur sana, di pinggiran kota-kota besar pun keadaan kehidupan akademisnya sungguh memprihatinkan. Dan sekali lagi pledoi yang digunakan, bahwa dengan UU Sisdiknas maka masyarakat juga berhak menyelenggerakan pendidikan. Kalau seperti itu, lalu buat apa rakyat repot-repot memilih pemimpin selama ini.

Maka jangan hanya salahkan sekolah bila kemudian menterjemahkan hak penyelenggaraan tersebut dengan melibatkan masyarakat (dalam hal ini orang tua siswa) dengan berbagai iuran yang super wah. Menurut Amich Alhumami (Kompas, 15 Juni 2004), data dari Balitbang Depdiknas menyebutkan bahwa biaya pendidikan yang dibayarkan orang tua per tahun (dalam juta) untuk SD negeri 4,867 dan 6,178 untuk swasta, Madrasah Ibtidaiyah (MI) negeri 5,481 dan 4,130 untuk swasta, SMP negeri 5,624 dan 5,774 untuk swasta, Madrasah Tsanawiyah negeri 4,749 dan 4,269 untuk swasta, SMU negeri 7,054 dan 6,842 untuk swasta, serta untuk Madrasah Aliyah negeri 6,091 dan untuk swasta 5,967.

Angka-angka diatas adalah angka rata-rata dari seluruh daerah di Inonesia. Tentunya akan sangat jauh berbeda dengan daerah perkotaan, terutama di Jawa. Bagi yang berminat masuk pada sebuah sekolah swasta bonafide di Jakarta misalnya, orang tua harus menyiapkan puluhan juta rupiah untuk. Atau bahkan sebuah SD negeri di Bandung menetapkan harga jutaan dalam rangka penerimaan siswa barunya. Itu semua belum termasuk dengan biaya per bulan dan tetek bengek lainnya. Mungkin hanya SMPN 56 Jakarta yang membebankan biaya masuk sekolah terkecil se-indonesia. Walaupun sarat kontroversi keberadaannya, pengelola SMPN 56 berani “banting harga” uang masuk sampai hanya 1000 perak (Koran Tempo, 15 Juni 2004).

Bila dibandingkan dengan rata-rata biaya pendidikan diatas dengan kemampuan ekonomi rakyat Indonesia, maka kita akan dapatkan pemandangan yang kontras. Indikator kemampuan ekonomi rakyat bisa dilihat dengan besarnya pendapatan perkapita indonesia seperti di bawah ini (tabel 2) :
Deskripsi 1998 1999 2000 2001
Pendapatan Perkapita 4.222.062,1 4.649.342,2 5.652.731,5 6.351.912,1
sumber: BPS dengan pengolahan
Maka yang sangat terlihat adalah kesenjangan antara biaya pendidikan dengan kemampuan rakyat kebanyakan. Walaupun tahun survey keduanya tidak sama, dengan kondisi rakyat yang tidak jauh berbeda dan pengangguran diatas 10%, kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan sangat terbatas. Di sisi lain, program wajib belajar (Wajar) 9 tahun dan penanaman doktrin “malu jika tidak sekolah”, pemerintah masih mengalokasikan 6,6% APBN 2004 untuk pendidikan. Jika berandai-andai alokasi 20% terpenuhi, memungkinkan masyarakat menikmati Wajar 9 tahun dengan gratis di seluruh Indonesia (Republika, 28 Mei 2004).

Dengan kondisi diatas, wajarlah bila Human Development Index (HDI) Indonesia hanya di peringkat 110 dunia (Prof. Zuhal), dibawah Malaysia (59), Thailand (70), Filipina (77) dan Vietnam (109). Sebab yang paling kentara adalah masalah pemerataan pendidikan bak mimpi di negeri nan kaya ini. Padahal dari tabel 1 dan 2 bisa kita simpulkan bahwa masyarakat masih punya semangat tinggi (kemandirian) dalam dunia pendidikan bahkan dalam kondisi krisis pun (persis seperti halnya pemerintah yang “tetap jalan” selama kampanye pemilu 2004). Sehingga sekarang bola panas kompleksitas pendidikan sebenarnya terletak di pengambil kebijakan (baca: pemerintah) itu sendiri. Yang menurut Mas Achmad Santosa (Kompas, 17 Juni 2004), masyarakat punya hak untuk melakukan perlawanan terhadapnya. Karena tanpa perjuangan, masyarakat tidak akan pernah menjadi subyek kehidupan (pendidikan).

Bentuk perlawanan dalam negara hukum seperti Indonesia menurutnya bisa dalam bentuk ; pertama, Class action merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak bagi satu atau sejumlah orang (tidak sangat banyak) untuk mengajukan gugatan dalam memperjuangkan kepentingan sendiri yang sama dengan kepentingani ratusan bahkan jutaan orang. UAN adalah persoalan yang klop dengan konteks ini. Kedua, legal action (Hak Gugat Organisasi) yaitu gugatan yang dilakukan oleh organisasi badan hukum yang tidak terkena langsung kerugian, namun memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak yang dirugikan. Legal action bisa dilakukan oleh PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) atau organisasi yang terkait dengan masalah pendidikan diatas. Masifitas gerakan dengan sendirinya akan terbentuk dengan elaborasi antara kedua bentuk diatas yang mencitakan terciptanya nilai-nilai luhur pendidikan bangsa.

Akhirnya, tidak pantas bila Ibu pertiwi yang melahirkan kita menangis karena putra-putranya menjadi orang-orang yang tak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga, tak membela kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak bersemangat (Mr “Toto-Chan“ Kuroyanagi). Karena kita telah merangkai cita mulia pendidikan, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU Sisdiknas). Atau dalam slogan legendarisnya Ki Hadjar Dewantara, Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri Handayani. Semoga.....