Tuesday, March 17, 2009

Ritme hidup yang baru

Manusia senantiasa menghadapi fase-fase kehidupannya. Setelah melaksanakan “prosesi” yang agung, maka ritme kehidupan antara sebelum dan sesudahnya pun mulai berubah. Dalam hal menjadi seorang suami, maka terdapat tantangan sekaligus jawaban atas kehidupan baru yang dijalani tersebut.

Setelah melalui rangkaian acara dalam keluarga, maka mulailah keluarga muda ini menjalani kehidupan yang nyata. Hal yang paling depan dihadapi adalah kenyataan untuk tidak bisa bertemu setiap hari karena kewajiban pekerjaan saya sekaligus kewajiban pendidikan sang istri yang harus dituntaskan.

Dalam 26 hari, rata-rata kesempatan bertemu kami sebanyak 12 hari. Sebanyak 12 hari itu masih merupakan kesempatan karena baru akan menjadi realisasi pertemuan jika diwujudkan, pilihannya antara rumah Depok atau tempat tinggal istri di bandung. Dan setelah berhitung dengan kewajiban kantor saya di Jakarta ditambah kewajiban penelitian istri di Bandung, maka praktis selama 7-8 hari saja kami bertemu.

Tentu hal tersebut adalah tantangan yang kami hadapi. Mungkin buat kami , saat jauh benar-benar terasa. Dan sebaliknya, saat bersama pun benar-benar terasa (anda yang berkesempatan bertemu istri/suami tiap hari harus banyak bersyukur :). Namun saya berpikir, tantangan yang dihadapi tiap keluarga baru pasti ada dan berbeda-beda tiap pasangan.

Oleh karenanya setiap sebelum saya pulang on duty dari ranah sumatera, pasti kami sudah mengatur jadwal selama saya off duty. Jadwal kapan saja bertemu, kapan tinggal di rumah depok, kapan belanja isi rumah, kapan ke bandung, kapan jalan-jalan, dengan mempertimbangkan saya harus masuk kantor Jakarta 3 hari dan kelangsungan penelitian istri di Bandung.

Umumnya orang akan melihat hal itu adalah sebuah “usaha ekstra”. Ritme seperti tersebut sudah pasti dibicarakan dengan sejelasnya tentang konsekuensi tersebut sebelum pernikahan. Sehingga sesudahnya, perjalanan ritme tersebut bisa dinikmati.

Mungkin ritme hidup diatas yang bisa menjelaskan mengapa saya (dan istri) menurun aktivitas menulis belakangan ini. Boleh dikatakan kami benar-benar dalam masa adaptasi terhadap ritme hidup yang baru tersebut. Dalam 7-8 hari bertemu, pasti kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk merajut tali keluarga. Sehingga saat ini mungkin lebih mudah menulis saat kami berdua saling jauh, terlepas kewajiban masing-masing terhadap tanggung jawab pekerjaan dan penelitian yang menyibukan

Seperti biasa orang yang stag dalam menulis, maka ide tulisan selalu bermunculan di kepala. Saat kami menonton berdua, saat kami jalan-jalan ke pantai, saat kami membaca, atau saat kami diskusi panjang lebar, atau bahkan saat kami sendiri dalam kamar terpisah pulau. Namun memang menuliskannya masih merupakan tantangan kami berdua. Padahal kami ingin sekali berbagi mengenai hal-hal bermanfaat kepada teman semua.

Sangat berbeda dengan seorang penulis kenalan kami. Beliau bekerja terpisah dengan keluarganya, dan normalnya hanya tiga hari dalam dua minggu sekali pulang. Namun saya melihatnya, justru karena jauh itu maka aliran menulisnya mengalir. Buktinya, sudah banyak cerpen dan novel terbit torehan tangannya. Belum tentu ketika bersama keluarga hasil tulisannya selancar ketika sendiri. Orang bilang, jiwa dalam keadaan sendiri membuat seseorang menjadi lebih memaknai sesuatu.

Dan mungkin sindrom menulis sendiri itu juga yang mulai membayangi kami. Tapi saya (kami) bukan seperti penulis tersebut, yang memang sudah terbukti karyanya (atau mungkin suatu hari nanti, amin). Kami hanya ingin berbagi kepada teman-teman semua.

Akhirnya setelah lama tidak menorehkan pikiran dalam tulisan, coretan ringan ini mudah-mudahan menjadi pengantar untuk kembali menulis, terutama untuk blog kami berdua. Sekalipun ingin hal-hal yang berkualitas, namun rasanya hal-hal ringan pun bisa menjadi pengisi coretan yang bermanfaat.

Saya ingin menulis, kami ingin menulis.