Wednesday, August 29, 2007

Afganistan; sketsa dari buku












Apa yang terbayangkan segera dengan negeri bernama Afganistan? Hancur, porak poranda sisa agresi Amerika demi memburu Osama bin Laden yang tak kunjung ditemuinya. Dan pasca agresi itu, praktis wajah Afganistan kembali hilang ditelan bumi penuh konflik timur tengah lainnya.

Namun sebenarnya, apa yang tersingkap dalam media-media yang memberitakan kondisi Afaganistan belum tentu menggambarkan kondisi (dan psikologis) Afganistan yang sesungguhnya. Dan lewat sebuah buku memoar perjalanan, Latifa dan Asne Seierstad masing-masing memberi sudut pandang lain dari kehidupan Afganistan.

My Forbidden Face (Wajah Terlarang-WT) karya Latifa,sungguh-sungguh sangat bagus dalam mendeskripsikan gejolak perasaan perempuan Afgan terutama semasa Taliban yang menerapkan ‘syariat Islam konservatif’ (yang menurut saya berlebihan),diantaranya melarang perempuan bekerja, sekolah dan bahkan keluar rumah tanpa orang yang menemani dengan penutup badan-kepala (burqa). Sednagkan laki-laki harus mempunyai jenggot panjang serta memakai baju jubah. Tidak boleh aktivitas malam, semua TV, media dilarang kecuali siaran agama-propaganda, tidak ada campur laki-laki perempuan di semua urusan, peredaran buku diawasi dan jika melanggar maka polisi pun akan menyeret ke pengadilan agama.

Latifa, seorang wanita asli Afgan yang menghabiskan waktu disana hingga usia 16 tahun saat-saat akhir kekuasaan Taliban, sempat menjadi guru bagi perempuan-perempuan kecil yang dilarang sekolah di sekolah formal dengan sembunyi-sembunyi menggunakan rumah keluarganya. Latifa kemudian ’hijrah’ ke Paris didukung ibu dan keluarganya untuk menyuarakan suara perempuan Afgan di dunia internasional.

Ibunya sendiri adalah dokter yang dilarang bekerja di rumah sakit sejak Taliban, dan akhirnya bersama Latifa membangun klinik sendiri di bagian belakang rumahnya tanpa sepengetahuan Taliban, karena tidak tega melihat pasien-pasien perempuan yang tidak pergi ke RS akibat semua dokternya laki-laki.

Sedangkan Asne, jurnalis Norwegia yang meliput ke Afgan dalam detik-detik Taliban jatuh lalu bertemu dengan Sultan Khan, seorang saudagar buku dan kemudian tinggal serumah bersama keluarganya selama 3 bulan untuk merasakan penuh kehidupan sebuah keluarga Afgan.

Saudagar Buku dari Kabul (The Bookseller of Kabul) - SB, lebih menggambarkan potret keluarga di tengah banyak perubahan kekuasaan di Afgan. Buku ini tidak hanya berbicara tentang dunia Afgan saja, tapi juga wilayah-wilayah di sekitarnya yang turut mempengaruhi kondisi politik-keamanan di Afgan. Menyusuri wilayah pesisir sambil mengetahui kondisi sosial-politiknya tentu lebih membuka mata tentang apa yang terjadi di Afgan.

Ide sentral kehidupan keluarga khas Afgan patut diacungi jempol. Pendeskripsian yang baik tentang posisi kepala keluarga yang sangat kuasa, tugas istri, ibu kepala keluarga, anak dan susunan lain yang membentuk keluarga. Layaknya sebuah keluarga, maka banyak konflik pun mendera disana apalagi dengan tangan besi Sultan yang sangat keras dan tanpa kompromi kepada keluarga.

Lalu lagi-lagi tentang perempuan Afgan yang penuh kisah sendu itu seperti dalam buku WT. Jika WT lebih banyak pada aktivitas sosial perempuan yang terkengkang, maka SB berkali-kali menggambarkan tentang ketidakperdayaan perempuan Afgan dalam meimilih pasangan hidupnya. Sebenarnya laki-laki pun demikian, namun laki-laki lebih bisa mengatakan keinginannya lalu menyerahkan hak melamar kepada ibu atau saudara perempuan. Sedang si perempuan, hanya bisa diam dan menerima apa kata ibu atau keluarganya yang biasa hanya atas pertimbangan materi menjual anak gadisnya.

Kisah keluarga saudagar diakhiri dengan sebuah sketsa cinta menyedihkan, antara Leila (adik Sultan) yang disukai Karim (seorang pemuda mapan) dan akhirnya kandas karena’budaya’ terkungkungnya seorang wanita Afgan terutama sejak Taliban dan masih berbekas sesudahnya. Menurut Leila, perempuan Afgan itu tidak punya rasa, tidak bisa merasakan apa-apa karena tidak terbiasa merasakan apa-apa. Dia tidak punya rasa karena tahu dia tak boleh punya perasaan. Jadi, apakah mempunyai perasaan dan memperjuangkannya adalah tabu bagi seorang perempuan?

***

Buku bagaimanapun adalah media yang sangat baik untuk menyuarakan hati nurani. Dan buku memoar, buku yang ditulis sebagai catatan perjalanan dan liku-likunya atas sebuah negeri bernama Afganistan ibarat suara hati nurani tercekik di balik kerudung Islam konservatif. Wajah Terlarang atau Saudagar Buku dari Kabul telah menjadi bukti eksistensi sebuah buku memoar, menampilkan sisi lain kehidupan Afgan, lebih membuka mata dunia dan kemudian memahami apa yang terjadi disana.

Semua dalam kehidupan penuh pilihan. Tapi tentu tidak ada orang yang memilih dalam kehidupan penuh ketertindasan dan keterkengkangan. Karena perasaan bebas dan bertanggung jawab atas apapun yang dipilihnya itu, adalah bagian utama dalam kehidupan manusia.

hidup selalu punya akhir
tidak perlu lagi ditindas
jika ketundukan adalah prasyarat hidup

aku tidak butuh hidup macam ini
dalam perbudakan,
bisa saja terjadi hujan emas
dan akan kukatakan pada langit

hujan ini tak dibutuhkan
[Latifa]

Monday, August 27, 2007

6 label pekerjaan dalam 1 tahun

Sebenarnya saya tidak suka mengekspos pribadi di blog, entah dengan alasan apapun bahkan yang paling ‘luhur’ yakni self marketing. Tapi karena tulisan Pak Budi tentang membangun CV di internet, maka mungkin ada benarnya juga untuk mulai menuliskan tentang bidang keahlian kita di blog, dan barangkali ada yang bisa dipetik. Jadi sekarang, mohon maaf, saya cerita tentang pengalaman kerja selama kurang lebih 1 tahun ini.

1. PT LAPI ITB (Jan-Nop 2006)
Pekerjaan proyek BaPH Migas yang dilakukan sebuah kelompok dosen TI tentang perilaku konsumsi BBM, kerjasama antara LAPI dengan Koneba (Konservasi Energi Abadi). Tugas saya sebagai asisten proyek, yang harus mengerjakan laporan beserta analisis-analisisnya dengan pendekatan sistem dinamis.

Oiya, sebenarnya saya rehat sebentar selama 2.5 bulan (Mei-Juli) karena proyek selesai secara administratif yang saya gunakan untuk menyelesaikan tugas akhir. Agustus, mulai lagi dengan revisi, presentasi dan analisis tambahan.

2. PT Multicipta Rancana Salaras (Agust-Nop 2006)
Proyek
pra studi kelayakan (prefeasiblity study) pengembangan kawasan Gedebage untuk menjadi pusat kota baru di Bandung. Diajak oleh dosen pembimbing TA, dan tugas saya sebagai asisten proyek (istilah kerennya junior consultant) terutama untuk analisis finansialnya. Dalam proyek ini saya mengikuti dari awal, dan saya yang membuat proposal teknisnya.

3. PT Monekatama Salaras (Sept-Nop 2006)
Proyek studi kelayakan pengembangan beberapa kawasan wisata di Pandeglang, Banten. Disini, saya sebagai team leader untuk tim TI yang melakukan market research hingga ke analisis finansial.

Secara pribadi, inilah pengalaman proyek paling menyenangkan. Pertama, saya menandatangani kontrak kerjaan sebagai pihak subkon atas nama sendiri dengan menggunakan gelar ST pertama kali untuk pekerjaan bernilai ’lumayan’. Kedua, disini sebagai leader dengan mengajak 2 teman lain untuk membantu dan pastinya memastikan zakat profesi sudah terpotong (beda rasanya, bisa ’menanggung’ hajat hidup orang, apalagi salah satunya seorang kepala keluarga). Ketiga, secara pekerjaan menyenangkan, puas dan tepat waktu.

Oiya, mungkin anda jeli melihat selama masa september-nopember saya tidak Cuma bekerja untuk 1 label. Benar sekali! 3 pekerjaan selama 2 bulan. Pagi kerja normal kantor di Lapi, siang rapat ke Multi, balik lagi ke Lapi, sore ke Monek, malam ngerjain ini-itu.., benar-benar melelahkan. Plus, saya sidang tengah september sebelum puasa, jauh hari sebelum wisuda november supaya bisa ’nyambi’ sekaligus ’lihat-lihat’.

Dan hasilnya: 7 hari ramadhan saya absen! Pertama kalinya dalam 13 tahun sejarah puasa saya. Tapi jangan tanya ’imbalan materi’, sangat besar untuk sekedar fresh graduate.

4. PT Sulzer Hickham Indonesia (Des 2006–Mei 2007)
Masa ‘lihat-lihat’ akhirnya membuka pintu ke perusahaan, a real company, bukan project based lagi. SHI, perusahaan 100% Swiss berlokasi di Cikampek ini bergerak di bidang rotating equipment service macam turbin, generator, pompa dan alat-alat rotor yang besar biasa banyak di bidang pertambangan atau pembangkit listrik. Posisi saya sebagai Project Maju Coordinator, sebuah internal project untuk meningkatkan performansi perusahaan, menggkordinasikan manajer-menajer membuat program dan memantau implementasinya, membuat business planm, presentasi di weekly meeting serta reporting progress ke headquarter di Winterthur.

Selesai 6 bulan, saya memutuskan berhenti. Satu alasan kontrak selesai, dan kedua alasan kompetensi sekalipun akan dijadikan karyawan tetap. Mechanical adalah bussiness core SHI, sedangkan saya TI. Walaupun secara salary termasuk wah (untuk ukuran freshgrad di Jawa), tapi tentu ada beberapa pertimbangan dalam melangkah di dunia karir.

5. PT Energy Management Indonesia (Jun–Jul 2007)
EMI, sebuah konsultan energi BUMN yang mengerjakan bebarapa proyek berkaitan energi pemerintah dan perusahaan. Saya masuk di divisi perminyakan, dimana sedang menyiapkan proposal teknis pekerjaan optimalisai infrastruktur distribusi BBM. Posisi saya sebagai junior consultant, khususnya bidang penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) saat tender dan perancangan prototipe jaringan distribusi BBM saat pekerjaan dimulai, dimana saya tidak terlibat banyak akhirnya. Merasakan kembali pekerjaan dengan ritme konsultan, dan mulai menjajal kerasnya ibukota.

Di EMI, sebenarnya pintu terbuka untuk melanjutkan studi, karena EMI state-owned plus bergerak di bidang konservasi serta kebijakan energi – rencana bidang studi S2. Sekalipun bukan BUMN besar seperti halnya Sucofindo, tapi tetap saja lumayan bagus. Sebagai informasi tambahan, EMI adalah nama baru dari Koneba. Dan tentang S2, manusia punya rencana dan jika itu rezeki maka kita bisa berusaha dan berdo’a untuk kesempatan di masa depan.

Sudah lima label, lalu satu lagi apa? Yang keenam, sejak agustus saya mengikuti proses calon karyawan sebuah oil company dalam negeri, atau istilah kerennya Graduate Engineer Trainee. GET selama setahun, sebelum diputuskan/tidak untuk di ikat-dinas selama 3 tahun. Selama training akan dibekali untuk menjadi petroleum engineer. Tidak sangat berhubungan dengan TI, tapi semakin memperkuat bahwa seorang TI ibarat ketan.

Sedikit tentang pelajaran yang saya dapatkan selama ‘pelayaran’ ini selain dua paradigma memandang pekerjaan (syukur-profesional), dan sangat mungkin untuk selalu dilakukan: Pertama, khusnul khotimah. Artinya mengakhiri dengan indah dan ini tidak sulit jika syukur-profesional diterapkan. Semua karena kita tak pernah tahu masa depan. Jika suatu saat terjadi apa-apa, maka tempat kerja lama pun masih terbuka.

Kedua, jaringan yang terjaga. Banyak teman atau kenalan itu membuka kesempatan makin banyak. Dan mencoba banyak label pekerjaan adalah sarana memperbanyak teman, termasuk juga dunia blog. Dalam berteman pastinya lebih butuh friendly, grapyak dan ketulusan, daripada phonebook atau email kapasitas besar.

Ketiga, pastinya pandai-pandai dalam mengelola keuangan. Ingat, bukan besar kecilnya apa yang kita dapatkan tapi besar kecilnya yang bisa kita simpan.

Khusus buat yang masih di kampus sesegera mungkin mandiri dari orang tua. Sejak agustus tahun lalu-Alhamdulillah, saya sudah melepaskan diri sehinga uang kuliah, kontrakan rumah, biaya keseharian dan lainnya sudah tidak ditanggung orang tua. Cukuplah mereka menanggung kuliah maksimal sampai 4 tahun, dan berpikir untuk mulai memberi. Ini bukan tentang seberapa kaya tidaknya orang tua kita, tapi ini adalah pilihan jalan hidup.

Dan saya tidak sepakat, bila banyak label diatas disebut sebagai kutu loncat. Saya lebih suka menyebutnya sebuah proses. Karena pada akhirnya setelah lama berlayar, sebuah perahu akan berlabuh jua...


Note: 6 pekerjaan ini sekaligus untuk menjawab 6 hal, dari mbak amorita dan bu enny. Maaf bukan tentang keanehan diri, karena tidak nyaman 'membuka diri'. ^_^

Tuesday, August 21, 2007

Bertanya Kemampuan Language

Pernahkah anda sebagai orang indonesia merasa bahwa kemampuan belajar bahasa asing sangat rendah untuk bangsa kita?

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan sebuah analist oil-gas branch singapura di hotel kawasan kuningan akhir bulan lalu, selama lebih dari 3 jam pemaparan speaker, hanya ada 2 penanya yang pertanyaannya pun lebih bersifat pertanyaan singkat-konfirmasi,bukan jenis pertanyaan analisis.

Sepertinya bukan karena tidak paham tentang materi seminar, sehingga tidak ada pertanyaan yang sifatnya analisis atau bahkan menggugat analisis lembaga tersebut. Tapi lebih karena tidak mudahnya itu diucapkan, dirangkai dalam language sehingga mengubur dalam-dalam komunikatif. Hal sejenis pun bisa ditemukan saat seorang indonesia pergi di luar negeri.

Suatu hari saat kunjungan diplomat Australia di sebuah provinsi di kalimantan perihal program bantuan, diplomat tersebut bertanya kepada Gubernur, “Why don’t you learn English, so that we can communicate well?”. Dan jawaban Sang Gubernur singkat, “Saya tidak perlu belajar bahasa inggris karena saya cinta negeri saya.”

Tentu tidak berkaitan antara kemauan belajar language dan kecintaan terhadap negeri kita. Lihat saja para bapak-bapak bangsa kita, semisal Soekarno, Hatta, atau bahkan Agus Salim yang tidak hanya lancar Belanda tapi juga Inggris, Perancis dan Arab. Tentu tidak ada yang berani berkata bahwa beliau-beliau tidak cinta terhadap bangsa ini.

Atau memang boleh dikatakan bahwa kemampuan berbahasa asing bagi bangsa indonesia sangat rendah?

Lihat saja di negara-negara persemakmuran inggris, macam Malaysia, Singapura atau India. Atau negara bekas koloni perancis, seperti Mesir. Dan hampir semua negara bekas jajahan selalu mempunyai ‘bahasa kedua’, yaitu bahasa asing yang jamak digunakan di negara tersebut.

Tapi tidak untuk Indonesia. Sebagai salah satu bangsa terjajah, seharusnya bangsa kita pandai dalam bahasa asing penjajah setidaknya, yaitu Belanda. Tapi ternyata nihil. Konon, hal itu akibat sebuah keputusan presiden orde lama untuk mulai tidak mengajarkan Bahasa Belanda di sekolah-sekolah, sebagai salah satu paket dengan nasionalisasi aset-aset Belanda.

Akibatnya sekarang yang nyata, hampir seluruh lulusan sekolah atau perguruan tinggi indonesia mengalami kegagapan dalam language. Hal ini sedikit tidak berlaku bagi kawasan perkotaan atau wilayah yang mempunyai lebih mudah akses dalam belajar language dimana tidak melalui sekolah formal melainkan kursus bahasa yang banyak menjual native speaker disana.

Tapi saya kemudian berpikir, apa memang kemampuan language bangsa kita rendah? Mungkin sebab utama, karena kultur itupun tidak ditumbuhkan dalam lingkungan kita. Kultur akan membentuk perilaku, perilaku akan mengkristal menjadi sifat (karakter, kepribadian). Jadi, karena tidak adanya kultur language maka rendahlah kemampuan bahasa.

Memang ada beberapa orang kita yang sangat bagus dalam language. Tapi secara umum, kemampuan language bangsa kita sangat rendah.

Saya sendiri merasakannya sebagai ‘seorang anak desa’, sekalipun nilai pelajaran Bahasa Inggris selalu baik, tapi tetap sangat kesulitan untuk berkomunikasi. Sekarang mungkin sedikit terlambat, walaupun selalu tidak ada kata terlambat. Namun jika belajar language itu dimulai saat kecil, tahu betapa pentingnya itu dan dorongan kuat, maka pasti akan relatif lebih mudah.

Sekarang saya cuma bisa membayangkan, bagaimana para delegasi bangsa yang harus bernegoisasi dengan negara lain atau forum internasional mempertaruhkan nama bangsa, akan sedikit-banyak mengalami kesulitan dan bisa berakibat fatal bila salah dalam interpretasi language. Atau jutaan informasi yang menggempur setiap detiknya dan terbuka luas dinikmati, namun terhalang karena keterbatasan language.

Bagaimana mengatasinya? Sebagai pemerintah, maka sebenarnya itu mudah. Buat saja kurikulum yang membuat sedemikian sehingga language makin lancar dilafalkan semua anak didik bangsa, tidak hanya oleh ‘anak-anak kota’ hasil didikan lembaga bahasa asing. Tentu kita juga butuh guru yang cakap untuk ini.

Dan untuk para (calon) ayah-ibu bisa dengan menanamkan tekad kuat saat ini, untuk mengajarkan language(s) atau mendorong dengan kesadaran sehingga putra-putra masa depan bangsa lebih siap act globally untuk membawa kemajuan bangsa.

Sunday, August 12, 2007

Sokola Rimba

Jika ingin memperbaiki kehidupan, maka mulailah dari pendidikan. Falsafah itu yang benar-benar ada di benak Butet Manurung dan rekan-rekanya untuk bergerak dalam pendidikan rimba, yang dikenal dengan nama Sokola Rimba.

Apa yang ada di benak kita pertama saat mendengar kata rimba? Sebuah kehidupan terbelakang, nomaden, tidak teratur, atau bahkan mencapnya sebagai sebuah kehidupan ‘tanpa budaya’?

Anggapan-anggapan diatas dimentahkan Butet yang dengan keberaniannya memutuskan untuk bergabung dengan Warsi (Warung Informasi Konservasi) yang berlokasi di Jambi, di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas. Tugas awalnya memang hanya sebagai pemberi informasi kepada Orang Rimba(OR) tentang peran penting mereka untuk menjaga hutan mereka atau TNBD secara umum.

Namun, karena paradigmanya bahwa pendidikan adalah awal dari segala perubahan sikap, maka Butet secara ‘tidak sengaja’ mengawali petualang hidupnya dengan menjadi salah satu founder model sekolah nonformal yang diselenggarakan di rimba. Sekolah rimba yang dia inisiasi, kembangkan, dan kemudian setelah keluar dari Warsi telah berwujud sebuah badan tersendiri dengan nama Sokola Rimba (SR).

Buku terbitan Juni 2007 ini terdiri atas dua bagian utama. Pertama adalah perjalanan awal Butet untuk bergabung dengan aktivitas Warsi di Jambi setelah lulus dwi-gelar sarjana yaitu sastra indonesia dan antropologi dari Unpad Bandung, awal kuarter keempat 1999.

Di bagian pertama ini, Butet juga menceritakan tentang pengalaman-pengamalam kehidupan di rimba yang sesungguhnya, sekalipun dia sudah aktif di pecinta alam Pallawa Unpad. Menjelajahi hutan, merasakan, berkomunikasi dengan bahasa rimba dan hidup bersama dengan berbagai kelompok-kelompok OR yang terpisah jauh di dalam rimba.

Menarik dan menantang sekali gaya tutur buku harian yang disodorkan Butet dibagian-bagian ini, dengan diselingi beberapa kekonyolan yang dilakukan Butet sendiri. Pembaca akan banyak tercerahkan dengan model kehidupan rimba yang unik, mandiri, dan juga berbudaya dengan budaya mereka. Selain itu pula, tentu aja sikap atau kondisi kekinian yang menjadikan OR obyek ‘modernitas’ yang makin menjarah hutan tempat tinggal meeka.

Di bagian ini pula, Butet dan kawan-kawannya di Warsi melaksanakan beberapa uji coba model SR. Sekolah yang akrab atau tidak galak, demikian kata anak OR yang trauma dengan sekolah formal yang pernah diperuntukan buat mereka.

Sekolah yang bisa mendidik menjadi manusia, demikian konsep awal Butet kemudian sebuah konsep SR yang berhasil bila SR bisa memberikan manfaat (langsung, riil) kepada lingkungan OR itu berada. Dengan ilmu sastra indonesia-nya,Butet banyak terbantu dalam membuat metode-metode baru yang kreatif tentang belajar baca, tulis dan berhitung.

Cerita perjalanan yang dituturkan dalam bentuk catatan harian ini sungguh memikat, setidaknya menjadikan pembacanya tidak merasa seperti diceramahi sehingga akhirnya tergerak untuk memahami kehidupan OR dan menghormati keberadaan serta pilihan mereka sendiri.

Di bagian kedua, buku ini menawarkan opini yang lebih non-diary tentang kehidupan OR dan kebutuhan SR buat mereka. Butet menggugat pandangan orang luar (non-rimba) yang menganggap OR butuh belas kasihan yang justru menjadikan OR makin rendah diri. Atau anggapan bahwa OR terbelakang ‘tak berbudaya’, yang sebenarnya tak selamanya benar karena OR punya kehidupan mereka sendiri yang mandiri dan ramah lingkungan justru jika tak ada gangguan dari orang luar.

Dan yang menjadi ide pokoknya tentu saja soal Sokola Rimba, sebuah sekolah nonformal yang akrab, tidak kaku dan dekat dengan kehidupan OR. Sekolah yang bukan hanya bisa baca-hitung-tulisan, namun juga bisa memberikan pilihan-pilihan kepada OR yang akhirnyaOR sendirilah yang memilih dan sadar akan pilihannya itu.

Indonesia jujur membutuhkan orang-orang seperti Butet, berani bekerja ‘melawan arus’demi tujuan besarnya dan gigih dalam mewujudkannya. Sosok Women Of The Year 2004 dari Anteve ini seperti setitik embun di tengah masih keringnya pendidikan ‘formal’ kita. Bagaimana pendidikan akan berhasil jika pendidikan sendiri hanya seperti sistem kaku yang tak bisa mendewasakan manusia?

Jika anda sempat berkeinginan untuk bisa berkeliling Eropa suatu hari karena terobsesi suatu cerita perjalanan disana, rasa-rasanya anda perlu membaca buku ini untuk bisa melihat bahwa perjalanan menjelajah rimba negeri kita sendiri bisa menjadi jauh luar biasa menantangnya. Belajar mengenal bangsa sendiri dan jika mungkin sedikit berkontribusi disana, sembari menikmtai eloknya Indonesia yang makin terlihat disana.

Dan Butet Manurung, seperti menjadi salah satu sosok Kartini masa kini.

Wednesday, August 08, 2007

1001 jalan menuju Surga

Tulisan ini tanpa ada dalil-dalil yang lengkap, hanya sepengetahuan penulis. Mohon maaf atas 'kelancangan' ini. Silahkan melengkapinya jika dibutuhkan dan mohon diluruskan bila salah*

Beberapa waktu lalu, saya menanyakan kepada 'seorang kakak', kenapa belum mau menikah segera? Kakak tersebut menjawab bahwa dia sedang meningkatkan sebuah amalan ibadah sehingga bisa 'lebih layak' menuju gerbang nikah, lebih tepatnya lebih siap untuk mendidik anaknya kelak. Menurutnya, bahwa mendidik anak untuk melakukan 'amalan' tersebut maka sebagai ibunya harus memberi teladan terlebih dahulu.

Menarik, apa yang disampaikan si kakak untuk meningkatkan 'amalan' tersebut. Seratus persen saya sepakat, sebagai muslim untuk selalu meningkatkan ketakwaaan (ibadah) kita, setidaknya menjaga dalam tahap yang baik. Dan tentang keteladanan kepada anak, ini juga tidak ada keraguan.

Yang 'sedikit mengusik', menurutnya berdasar sebuah dalil, bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang mempelajari 'amalan' tersebut dan mengajarkannya.
Dan itu pun sebenarnya memang benar. Namun, diskusi saya buka denga pertanyaan, bukankah dalam risalah Nabi Muhammad SAW sendiri, seringkali beliau mengatakan hal-hal yang menjadi amalan paling baik?

Misalnya, ketika seorang sabahat datang kepada Rasul dan menanyakan Islam itu apa, maka dijawab islam adalah akhlak.
Artinya, Islam itu sebagain besar adalah tentang akhlak, berhubungan dengan orang lain. Risalah lain menceritakan bahwa seorang sahabat bisa masuk surga 'hanya' dengan memaafkan semua kesalahan sahabat-sahabatnya yang ditimpakan kepadanya hari tersebut, setiap malam menjelanng tidur.

Kemudian, seorang anak muda datang dan menanyakan tentang siapa yang harus ditaati antara ayah dan ibu, dan Rasul pun menjawab Ibu sampai tiga kali, baru kemudian ayah. Dan dalam kisah lain, Umar bin Khattab pernah mendengar bahwa akan ada seorang penghuni sorga yang datang kepadanya dari sebuah daerah yang dia hanya keluar dari daerah tersebut setelah ibunya meninggal, karena saking berbaktinya dengan merawat ibunya. Dikisahkan, Umar bahkan mencium tangan sahabat yang akhirnya beliau 'temui' di masa pemerintahannya.

Ada lagi, tentang 7 golongan yang masuk surga adalah pemimpin yang adil,
pemuda yang sholeh, orang yang terikat pada masjid, orang yang bertemu dan berpisah karena Alllah SWT dan seorang pemuda yang 'digoda' wanita di tempat sepi dan mengatakan bahwa dia takut pada Allah, orang sedekah yang tangan kiri tidak tahu apa yang disedekahkan tangan kanan, dan memohon ampun sampai bercucuran air mata.

Dan yang pasti, sebuah hadis yang terkenal bahwa manusia yang paling berhasil adalah yang mempunyai sebesar-besarnya manfaat bagi orang lain. Sederhananya, manusia jenis ini pun saya yakin masuk surga. Karena azab itu diturunkan pertama kepada orang shaleh pribadi yang mebiarkan masyarakatnya rusak.

Kita mungkin masih ingat, serita seorang pelacur yang ahli surga karena
memberi minum pada seekor anjing. Orang yang sudah membunuh 100 orang dan ahli surga karena jarak yang lebih dekat ke 'kota taubat'. Atau karena membebaskan sebuah burung, Umar juga disebutkan Ali ahli surga.

Jadi moral dari semuanya, bahwa pintu masuk surga itu banyak. Dan tentunya, masih banyak lagi kisah atau cerita-cerita dimana Rasulullah mengatakan bahwa tindakan tersebut sebaik-baik amalan, calon penghuni surga, yang diampuni dosanya terdahulu dan lain sebagainya.

Belum tentu yang 'paling alim' masuk surga duluan. Ingat cerita di puntu surga antara orang mati syahid, ulama dan dermawan. Malaikat menawarkan siapa yang berhak masuk surga duluan kepada syahid, tapi dia menolak karena keberangkatan berjuang di jalan Allah atas ajaran guru, maka ulama lah yang lebih berhak. Kemudian ulama pun menolak, karena kelapangannya mengajar ilmu, termasuk kepada si syahid karena tersedianya sarana atas sedekah si dermawan. Akhirnya, dermawan-lah yang masuk lebih dahulu,

Pun sebenarnya, masuk surga-nya seorang muslim bukan karena amalan-amalan-nya. Tapi karena rahmat Allah SWT. Ingat cerita tentang seorang ulama yang dia sebenarnya sangat banyak amalan dan masuk surga karena izin Allah, tapi sang ulama tidak mau masuk surga jika bukan karena amalan-amalannya. Maka jadilah, semua amalan ditimbang hanya dengan rezeki sebutir bola mata ulama dan masih jauh lebih berat bola mata tersebut.

Karena islam itu mudah maka mudahkanlah, demikian salah satu hadis berkata. Tapi ini bukan berarti sebagai muslim, bertindak seenaknya. Bermain-main dengan agama. Satu yang paling fundamen adalah tentang keimanan, tentang tauhid. Islam jelas-jelas menganggap bahwa syirik (menyekutukan Allah) itu sebagai dosa yang sangat besar. Secara sederhana, tauhid itulah yang menjadi dasar bagi seseorang menjadi muslim yang baik.

Tauhid (perihal ke-Esa-an kepada Allah), mudah diucapkan tapi sangat sulit dilakukan secara sepenuhnya. Seharusnya, semua hidup muslim tunduk pada aturan Alllah. Semua peri kehidupan, dari bangun tidur hingga urusan negara. Dan ini memang sangat-sangat sulit. Tentang urusan bunga bank saja kita masih belum sepenuhnya. Namun yang paling mendasar adalah menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya puncak tertinggi cinta, penghambaan dan tempat bergantung. Bukan jabatan, harta, istri, apalagi dukun!

***

Beberapa cara menjadi muslim terbaik dan menggapai surga diatas menurut saya adalah cerminan bahwa Islam itu menghargai potensi dan kemampuan umatnya. Bagi muslim yang menjadi pemimpin, maka jadilah menjadi pemimpin yang adil untuk mengetuk pintu surga. Bagi si kaya, maka dermawanlah sebanyak-banyaklah. Dan bagi seorang yang mampu melakukan 'amalan' yang diidamkan si kakak, maka jadilah orang yang menjadi guru bagi umat islam.

Tindakan menunggulkan satu amalan daripada yang lain tentu bukan hal yang bijaksana. Surga bukan hanya untuk orang yang setiap hari bisa shalat tahajud (malam), bukan pula hanya untuk yang bisa puasa sunah rutin, atau untuk yang hafal Al-Qur'an. Surga juga buat 'muslim biasa' yang punya kebersihan hati dalam beribadah, buat para suami yang peduli terhadap keluarganya, buat pengamen, buat profesional dan lain-lainya.

Dalam hal ini, paradigmanya tentang masuk surga ending, bukan langsung karena banyaknya dosa yang dilakukan (hampir) tiap muslim sehingga harus 'mampir’ di neraka. Urusan pun berpindah ke sebentar atau lamanya di neraka yang berbeda tiap muslim (dan semua muslim pasti inginnya tidak ’mampir’ ke neraka), baru kemudian ke surga. Dan semua yang masuk surga, atas dasar rahmat (kasih sayang) Allah SWT, bukan amalan kita.

Berkaitan dengan lama tidaknya di neraka dan potensi yang bisa berbeda tiap muslim, maka hendaknya setiap muslim haruslah mempunyai sebuah amalan yang menjadi ’andalan’nya. Jika sebuah tim, ada selalu yang manjadi andalan, atau menjadi bintangnya.

Demikianlah, sebuah kisah tiga orang yang terjebak di dalam gua yang ber- tawasul (menjadikan sarana dalam ibadah) dengan sebuah amalan terbaik masing-masing untuk membuka batu besar penghalang gua. Seorang ayah tetap menjaga jatah susu untuk kedua orang tuanya yang tertidur, sekalipun anaknya sendiri merengek minta susu tersebut. Seorang yang tidak jadi mengambil ’tubuh’ sepupu perempuannya yang cantik sebagai ganti bayar hutang. Seorang majikan yang buruhnya ’lupa’ mengambil jatah upah, lalu kembali dan diberikan banyak gembalaan sapi sebagai pemutaran uang atas upah yang tertinggal itu.

Jadi, jika kita bisa menjawab apa pekerjaan impian anda, atau yang lainnya, maka seharusnya mungkin kita juga bisa membayangkan jika nanti ditanya, ”apa amalan yang paling kau andalkan untuk mendapat kasih sayang-KU?”. Dan itu bukan besar kecilnya, tapi konsistensi (istiqomah) serta pastinya ikhlas dan sesuai petunjuk Nabi.

Jadi, ada lebih dari 1001 jalan menuju surga...

Wallahu’alam bi shawab
Dan hanya Allah yang Maha Mengetahui

*ditulis oleh bukan ustadz, hanya 'toekang insinyur'.

Thursday, August 02, 2007

Memilih pekerjaan, perlukah idealis?

Sebenaranya, apa yang kita cari ketika kita bekerja? Baiklah, semua hampir sepakat pasti uang. Tapi tentu itu tidak semua karena uang, tentu ada pertimbangan lain-lainya. Buat saya pribadi, setidaknya ada tiga hal; to work is to learn, to earn and to contribute (jika ada yang tanya dimana letak untuk ibadah? Maka itu sebagai pondasinya).

Buat para yang baru saja lulus dari perguruan tinggi (PT), bekerja ini adalah menjadi tahapan momen penting dalam kehidupan selanjutnya. Lebih tepatnya, memilih pekerjaan.

Katanya, seorang lulusan ‘PT bergengsi’ tentu akan lebih ‘kobnservatif’ dalam memilih pekerjaan. Semua kebanyakan sepakat melihatnya dari sisi materi, salary (yang biasanya berkolerasi dengan perusahaan prestisius). Pragmatis memang, tapi begitulah sistem kehidupan kita cenderung mengajarkan seperti itu.

Karena alasan itu pula, kadang-kadang seorang sarjana rela menunggu lama untuk mendapatkan pekerjaan yang diidam-idamkannya, di perusahaan yang mempunyai gaji golongan atas. Seorang senior pernah cerita tentang kawannya yang saking inginnya bekerja di perusahaan minyak internasional rela menunggu hingga 2 tahun. Walaupun setelah kerja 6 bulan kemudian berhenti.

Idealis dalam memilih pekerjaan yang diidamkan tentu sah-sah saja, itu naluri manusia. Tapi tentang menunggu? Menurut saya sayang seribu sayang jika ‘masa menanti’ itu lama, berbilang bulan atau tahun. Sekalipun menurut kabar teman, seorang analis finansial di salah satu BUMN telekomunikasi, rata-rata ‘menunggu’ lulusan sarjana science di indonesia 1,5 tahun, sedang yang social 2 tahun.

Beda ceritanya, jika masa menunggu itu ada aktivitas yang dilakukan, misal menjadi volunteer yang menurut seorang teman di sebuah vendor IT MNC terkenal, banyak dilakukan oleh lulusan sarjana di manca sana.

Maka jika memang niatnya untuk berkerja (baca: menjadi karyawan) dan bukan enterpreneur, maka secepat mungkin untuk bekerja. Pragmatis, kerja dimanapun dulu, syukur-syukur kalau langsung di tempat bagus. Masalah tidak betah, dan lain-lain, yang penting coba dulu. Rasakan bagaimana bekerja itu, terutama jika belum pernah bekerja sebelumnya. Dan jika 1 bulan kemudian resign dan jobless, yang jelas sudah merasakan (plus strategi keluar setelah gajian).

Karena dalam kondisi diam, pikiran juga cenderung ‘tidak dioptimalkan’. Sayang, jika lulusan PT (apalagi ‘bergengsi’) yang kuliahnya susah, lalu otaknya ‘berhenti’. Lebih bagus memang, di tingkat akhir kuliah pun sudah mulai lagi berburu pekerjaan. Tentu, ini sudah melalui jawaban mau jadi apa setelah kuliah.

Ada lagi idealis yang kedua selain idealis diatas, yaitu dalam memilih perusahaan khususnya bicara antara asing atau pribumi. Sederhananya, kita bicara tentang nasionalisme yang sensitif itu.

Ini tidaklah sederhana, dan dunia memang dalam kondisi Indonesia ‘kalah’. Banyak perusahaan bergensi adalah asing, dan ini tentu saja dengan salary yang ‘wah’. Pilihan pengembangan diri (training dll) di luar negeri tentu menggiurkan, plus fasilitas-fasilitas lainnya. Di sisi lain, perusahaan dalam negeri pun belum banyak yang bertaji.

Karena naluri manusia ingin segera mungkin ‘mapan’, maka itu seperti sebuah shortcut. Tapi pertanyaannya sekarang, apakah hanya karena ingin kaya cepat lalu menelantarkan bangsa sendiri?

Idealisme kedua ini memang sulit, dan bisa saja dibalas dengan pertanyaan, apa jika bekerja di perusahaan asing lalu tidak nasionalis? Apalagi dengan konsep saham, sebuah perusahaan 51% saham BUMN sedang 49% saham asing, apa karyawannya sudah bisa disebut PNS (Pegawai Negeri Singapura)? Daripada menjadi bangsa miskin, investasi asing bisa menggerakan sektor riil. Rumit sekali jawabannya.

Pilihan masa depan yang lebih baik mungkin, jika setelah mapan lalu membuka usaha sendiri dan selesai menjadi ‘buruh asing’, sekaligus membuka lapangan kerja. Karena setinggi-tingginya posisi karyawan, tetap saja dia adalah buruh (kecuali kalau bisa menjadi pemegang saham).

Jangan tanya saya salah atau benarnya, saya sendiri sedang mencoba menjaga idealisme tersebut, dan jika saat ini ada, apakah itu bisa bertahan selamanya. Saya tidak ingin menyalahkan orang-orang yang bekerja di perusahaan asing, karena kondisi yang memang adanya. Mungkin hanya sekedar berharap, semoga nasionalisme memang bisa dikonversikan dalam bentuk yang lainnya yang lebih baik.

Pun jika bertemu dengan teman-teman saya yang sekarang bekerja ‘untuk asing’, saya tak mengulik-ulik tentang idealisme diatas. Cukup saya bertanya, “kapan rencana resign?”