Monday, January 29, 2007

best day he ever had

Hari pertama mencari kos di sekitar perum, aku langsung menuju rumahnya seperti kata teman. Pak Kusno, demikian dia biasa disapa. Usianya mungkin belum 40 tahun, dilihat dari posturnya. Dan aku berterima kasih banyak kepadanya. Di hari minggu, hampir 2 bulan lalu itu, dia menerimaku di rumahnya.

Aku datang dengan sepeda motor bersama tas tenteng besar berisi baju. Siang sekitar jam 12.30, aku masih ingat itu. Dipersilahkan duduk, diberi minum dingin (aku yang minta setelah ditawarkan hangat atau dingin) dan diajak makan siang. Untuk pertama dan kedua itu sudah biasa. Untuk yang terakhir, aku benar-benar tersanjung.

Lalu dia menelepon beberapa tetangga yang punya rumah kos-kosan dan langsung mengantarkannya untuk menengoknya. Tidak lama, setelah 2 kali melihat sehingga ada perbandingan, maka aku pun memilih dan kembali ke rumahnya mengambil tasku disana. Sebelum saya pergi, ditawari lagi, “kalau mau nanti malam kesini lagi. Banyak sprei yang bisa dipakai dan sekalian makan malam juga.“ Ya..memang kamar kos itu hanya menyediakan tempat tidur, kasur dan bantal tanpa sprei. Aku bilang singkat, “InsyaAllah“.

Sorenya aku putuskan untuk membeli sendiri sprei, sekalian dispenser dan galon aqua. Air, itu yang ada di pikiran untuk dimiliki dulu seperti api dalam hutan. Setelah maghrib di masjid, aku mampir ke rumahnya dan menemukan suaranya dalam bacaan Al-Qur’an. Aku menganggu? Ah, sebentar saja pikirku. Aku mengucap salam dan biasa diterima hangat. Aku sampaikan terima kasih hari ini, dan sudah tidak perlu spreinya serta sudah makan di warung di pinggir jalan. Lega. Lalu beliau bercerita tentang kondisi perusahaan.

Beberapa hari berlalu dan oleh satu sebab pekerjaan kami bertemu tempat kerja. Seputar pekerjaan, wilayah tanggung jawabnya dan “nasib“nya yang sudah 6 bulan menggantung sebagai acting machining supervisor, supervisor ad interim sampai ada supervisor yang resmi yang vacant. Kabarnya sedang dicari dari luar yang S1 dan lebih kompeten, dan itu sudah berlangsung lama. Pendidikan dia Diploma. Tapi sudah 6 bulan, biasanya acting hanya 3 bulan. Dan Pak Kusno sudah bekerja sejak perusahaan ini berdiri. Maka dalam hati, aku bermaksud akan menanyakannya ke board suatu hari.

Hari kamis, 25 Januari 2007, disebarkan via mail sebuah internal memo pengangkatan Kusno Baryadi sebagai machining supervisor per 1 Februari 2007. Aku buru-buru mengangkat gagang telepon, tapi tak ada yang mengangkat. Mungkin sedang di shop pikirku. Kucoba 1 jam lagi, 3 jam lagi. Nihil.

Sambil berangkat ashar, sengaja aku mampir ke tempatnya. Kosong. Aku cari pandang di shop, dia ada dan melihatku lalu dengan semangat datang menghampiri. Segera kuulurkan tangan menjabat, dia menyambut dengan wajah yang sangat ceria. “congrats Pak Kusno, it’s best day you ever had” kataku. “Thank You mas trian. Ya..best day, “ jawabnya sambil tersenyum puas. Kemudian, “jangan-jangan mas trian manas-manasin BOD nih?”. Aku tersenyum. Ah.., itu sudah waktunya pak kusno, dalam hati aku menjawab.

Belum sebulan lalu dalam sebuah kesempatan makan siang dengan salah satu board, kami berdiskusi hangat mulai dari ITB (sesama alumni), pengalamanku di pelayaran kebangsaan, hobi dan tentu perusahaan. Tentang perusahaan, salah satunya adalah flexibel organization, beliau MBA jadi nyambung dengan teori organisasi. Satu sisi bagus (human centered design), but no fixed structure. Lalu ke Pak Kusno, dengan 6 bulan-nya. Sekalipun “diskusi” itu aku rasakan mengambang, setidaknya aku sudah sampaikan, with my totally discussion styles.

Dan tanggal 1 Februari nanti, Pak Kusno akan resmi menjadi machining supervisor. Sabtu lalu, baliau sengaja masuk untuk membereskan tempat kerja yang sudah pasti miliknya, dan aku sempat menyambanginya. Dikeluarkannya seragam shop sambil tersenyum bercanda, “ini tidak akan saya pakai lagi mas trian”. Ya.. Pak Kusno, absolutely. it’s your time!

Saturday, January 20, 2007

bayangan sebuah kota

membayangkan tentang sebuah kota,
adalah membayangkan tentang kotamu.

begitu mempesonaku,
sehingga saat pertama kakiku menginjaknya,
segera saja hatiku luluh

(tapi tolong, jangan paksa aku untuk katakan
mengapa aku begitu jatuh hati pada kotamu
jangan, sekali-kali jangan!)


dan sekarang,
sekalipun kau tak pernah
mengizinkanku untuk singgah sebentar,
atau mungkin sekedar menengokmu,
tetap saja, kau tak pernah mau

tapi bila saatnya nanti,
ku ’kan selalu datang ke kota mu
dengan sepenuh hati
mengambil milkku yang tertinggal
selalu tertinggal,
(kenapa selalu merasa ada yang tertinggal?)
atau karena aku sengaja meninggalkannya
disana, di tempatmu.

membayangkan, suatu saat

kau menyapaku ramah,
kita duduk bersama di beranda,

mengajak minum teh,
lalu mulai lah kita bercerita
berbagi mimpi, hingga cinta
tentang apa saja yang kita punya
sampai senja pun sembunyi,
tapi selalu ada esok untuk kembali

membayangkan tentang kotamu,
(tanpa sengaja)
aku pun membayangkan tentang dirimu


Tuesday, January 16, 2007

Pekan yang berat, tapi menyenangkan

Pekan lalu, Pak Peter Alexander, President of Sulzer Turbo Services (TS) berkunjung ke Sulzer Hickham Indonesia (TSID), bersama Pak Richard Mueller, financial controller (CFA). Mulai senin sampai kamis, tapi untuk Pak Peter sudah kembali ke Winterthur, Switzerland rabu sore. Lagi-lagi, yang dibahas adalah tentang internal project yang sedang kugeluti setiap hari sebagai project coordinator.

What hard days! Hari-hari penuh meeting, mulai jam 9.00 sampai paling cepat jam 18.00. dan buatku, dilanjutkan sedikit perapihan maka pulang jam 19.00 adalah harus. Di meeting, tugasku “hanya” mempertanggungjawabkan sebuah detil project charter dari masing-masing department, Production and Engineering, HR, Sales atau Financial. Sekalipun didampingi oleh tiap manager atau director yang bertanggungjawab, tapi karena yang finalisasi aku maka harus kena manis dan getahnya juga.

Kesan pertama, detil! Benar-benar pingin pingsan. Sangat detil dalam melihat setiap jengkal project, bahkan untuk kapitalisasi huruf terutama Pak Richard. Karena aku yang pegang laptop presentasi, maka mendengarkan mereka-mereka diskusi panjang lebar sekaligus menulis idenya di charter (plus ditambah mikir translate-nya). Mendengar dan menulis. Sampai kata Pak Mueller, “normally, you made some faults, you have to do both of writing and listening. Not easy.” Tapi suasana canda, atau santai-serius pun tetap mewarnai (terbawa juga semacam sentimen Amerika dan Eropa)

Sekalipun capek (meeting marathon tiap hari). Tapi menyenangkan. Satu, bisa belajar banyak. Tahu bagaimana pola pikir seorang President TS. Bisa sedikit berkhayal, seperti ini kira-kira meeting style rapat tingkat dunia. Pun Pak Peter pernah menduduki Director TSID mulai 1995-2004. Beliau sangat paham dengan TSID, makanya sangat detil membahas mulai shop sampai strategic management, ditambah memang suka diskusi. Saat Pak Peter sudah kembali ke headquarter, saya bilang ke Pak Richard, “today is better than yesterday, faster. Because of Pak Peter.” Lalu dia tertawa membenarkan.

Dan kesan kedua, yang paling orang-orang TSID suka, Pak Peter ramah untuk ukuran American, karena lumayan fasih bahasa Indonesia. Tau belimbing? Beliau mengatakan juice belimbing, bukan mengatakan stars fruit saat lunch di Alam Sari, BIC (honor juga, fresh graduate lunch bareng Board of Director TSID, President TS, CFA dan jadi bahan pembicaraan se-kantor). “Ayam rica-rica”, dia katakan sambil mengambilnya. Pembiaraan apa yang paling menarik saat itu, adalah tentang Flight Disaster. Tapi pada awalnya Pak Peter Tanya, “How is Politics”. Maka tentang KKN, keluarga soeharto, kasus di BUMN mengalir ringan (sekalipun mereka harus “toleran“ dengan english ku).

Kesan terakhir (selain rambutnya yang enak dilihat, antara merah, coklat dan hitam), saat akan pulang, dia katakan lancar, “Terbang dari Jakarta jam 8, sampai Singapura kira-kira Jam 11. Terus dari Singapura jam 1 malam“. Lalu dia bertanya, “are you enjoying trian?”. Aku bilang, “hmm, now I’m meeting guy Pak Peter”, sambil tersenyum. “Orang rapat”, dia merespon sambil tersenyum pula. Dan saat mau pergi, beliau menyalamiku dan berpesan, “..have fun trian, i think you are!”.

Pekan yang berat, dan kita akan video conference kamis ini. Lalu Pak Richard akan datang akhir maret nanti. Dan sangat banyak PR untuk itu. Pfugh!
dalam masa-masa penentuan

Thursday, January 11, 2007

buku dalam keseharian

Mengapa irak yang konon "digdaya" jatuh ke pangkuan Amerika Serikat hanya dalam hitungan hari? Bukan bulan atau tahun seperti yang didongengkan petinggi-petinggi Irak. Kemana Saddam Husein? “Saddam sedang sibuk menulis sebuah Novel”, kata Tariq Azis salah satu deputi perdana menteri iraq saat itu. Dan bahkan baru selesai sehari sebelum Baghdad jatuh., kemudian softcopy dilarikan putrinya ke luar negeri. Saddam tampaknya sadar, bahwa perlawananan dengan senjatanya akan cepat usai, maka begoreslah penanya untuk tetap ‘melawan’ dominasi negara asing terhadap suatu negara berdaulat.

Tulisan diatas adalah pengantar novel Saddam terakhir. Ya, Saddam Husein menulis novel. Sudah tiga novel yang dihasilkannya. Terbaru seperti yang usai saya baca, “Tarian Setan”. Setelah usai membaca, maka dalam hati saya bergumam, “Saddam adalah pemimpin besar, terlepas begitu jahatnya dia memimpin, tapi dia bukan sastrawan!” ikut membenarkan beberapa kesan yang ditulis di pengantar buku tersebut.

Sebuah kesan yang menjadikan saya skeptis terhadap orang-orang tenar yang kemudian menulid buku, terutama karya sastra (sempat sementara tertepis dengan Rieke ‘oneng’ dalam cerpennya “Lintang”, Kompas 7 Januari 2007).

‘Untungnya’ Sayyid Qutb menulis karya sastra dulu sebelum dia lebih terkenal karena afiliasinya gerakan Ikhwanul Muslimin. Pekan lalu, novel Sayyid Qutb ‘Bidadari yang Hilang’ (terima kasih kepada teman yang meminjamkan) saya babat hanya 2 kali baca di malam hari, menyamai rekor membaca ‘Sang Pemimpi’.

Sayyid Qutb luar biasa. Ceritanya dalam menunjukan kecamuknya batin tokoh utama tidak hanya ‘sampai’ di teras rumah, tapi masuk hingga dapurnya. Mengharu biru, kejam dan menyayat hati! Jika tak kuat, maka bersiaplah tisu di sebelah. (bahkan konon teman yang meminjamkan tidak cukup ‘berani’ menyelesaikan bacaannya). Setelah selesai membacanya, saya berpikir “apakah ini yang menyebabkan Sayid Qutb tak pernah menikah?”

Selain buku diatas, ada dua bacaan yang kuhabiskan dalam waktu dekat ini. “Hari yang Dijanjikan” Najeb Qaelany, menjelang akir tahun. Tentang pengorbanan, harga diri, dan cinta. Settingnya dunia Arab khususnya mesir saat menghadapi perang salib VII. Sebuah fiksi realis. Meminjam istilah kritikus film yang banyak dibajak, “Two Thums Up!”.

Satu lagi menjelang Natal lalu, sebuah buku ‘nakal’. “Setan menggugat Tuhannya” (pinjaman dari seorang sahabat). Jika tak cukup punya logika dan sikap defensif, siapkanlah tameng untuk mengadapi gempuran keimanan atas langkah setan yang ‘memerosokkan’ Adam lalu dia dilaknat. Dalam pledoi, setan berkata, “Justru akulah hamba Allah sejati. Tak mau aku menyembah Adam, aku hanya menyembah-NYA.” Lalu katanya lagi, “Dan dengan tindakanku menggoda manusia, maka akulah sarana manusia menuju penghambaan sesunguhnya. Akulah sarana ketakwaaan!”

Satu lagi menjelang Natal lalu, sebuah buku ‘nakal’. “Setan menggugat Tuhannya” (pinjaman dari seorang sahabat). Jika tak cukup punya logika dan sikap defensif, siapkanlah tameng untuk mengadapi gempuran keimanan atas langkah setan yang ‘memerosokkan’ Adam lalu dia dilaknat. Dalam pledoi, setan berkata, “Justru akulah hamba Allah sejati. Tak mau aku menyembah Adam, aku hanya menyembah-NYA.” Lalu katanya lagi, “Dan dengan tindakanku menggoda manusia, maka akulah sarana manusia menuju penghambaan sesunguhnya. Akulah sarana ketakwaaan!”

Lalu awal pekan ini saat (akhirnya) ke bandung pp dalam < 24 jam, untuk sesuatu bentuk komitmen, lalu kembali memburu buku awal tahun yang sempat lewat pekan sebelumnya.”Yang berjatuhan di jalan Dakwah”, buku Fathi Yakan, me-refresh kembali isinya yang sempat terbaca di masa kuliah dulu, dan pastinya lebih mengokohkan pondasi yang ada.

Tapi buku ‘nakal’ yang sempat tertahan pekan sebelumnya akhirnya masuk tas juga. “Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur!, memoar luka Seorang Muslimah”, Muhidin Dahlan. Sempat heran, buku 2005 dan sudah cetak ke-10, kemana aja ini. Konon buku ini kontroversi saat peluncurannya. Disamping sang penulis yang relatif berada di jalur anti kemapanan lewat buku-buknya (Kabar Buruk dari Langit, Adam Hawa, Jalan Sunyi Seorang Penulis). Tapi, selalu saja menarik untuk membaca kisah-kisah nyata yang dibukukan tentang “tragedi ke-perempuan”. Salah satunya,"Forbidden Face”, kisah dipuruknya peran wanita di rezim Taliban, Afganistan.

Buku Muhidin ini berani, dan menantang. Memoar tentang perjalanan wanita dalam berislam di sebuah Perguruan Tinggi Jogja (lagi-lagi, kampus memang taman bersemainya gerakan-gerakan islam). Sebuah pencarian setelah merasakan kesejukan dan keteduhan yang dilihatnya dari wajah-wajah ukhti (sebutan aktivis islam perempuan) di sebuah pengajian di Masjid Tarbiyah, dekat sebuah kampus (mengenai nama, semua dikhiaskan sekalipun kita bisa menebak-nebak).

Tapi dia tidak ‘bergabung’ dengan ‘kelompok kajian’ tersebut, karena sahabat sekaligus yang mengajaknya datang tersebut, harus pulang ke Bandung. Kemudian, lewat aktivitas kajian islam yang diinisiasi di kampusnya dan interaksi dengan seorang ‘agen’, masuklah ia ke dalam gerakan islam yang bercita-cita membentuk daulah islam indonesia, memba’iat dan menyuruhnya ‘hijrah’.

Sayang, suasana militan dan sufistik yang dirindukannya saat bergabung tak ditemukan di dalam tubuh gerakan. Kritisme tak bisa terjawab. Seakan-akan, Tuhan tak mau menjawab keluhannya. Akirnya, pergilah ia dari genggaman jamaah dan rela dicap pengkhianat (walaupun dia menganggap, jamaahlah yang mengkhianati pengabdiannya).

Sebuah kekecewaan, yang membuatnya merasa muak dengan semuanya terutama agama. Dia jatuhkan diri dalam kubang paling hitam, obat dan free-sex. “Aku adalah jalang, banyak pria yang mencicipi tubuhku”, sebuah pengakuan darinya. Pria, menurutnya adalah manifestasi kemunafikan. Setiap ‘berhubungan’ dengan pria (mulai teman, hingga yang mengaku sebagai aktivis islam!), tak ada sesal atau rasa dosa. Dia ingin menunjukan pemberontakan paling nyata kepada Tuhannya. Sang Putri Api, begitu dia menyebut.

Terlepas kontroversinya (yang tak sempat kuikuti), buku ini seolah menyajikan realitas sisi lain. Akan menyudutkan pandangan orang terhadap eksistensi gerakan islam yang marak. Tapi buku ini seolah potret, sekaligus bisa menjadi sebuah muhasabah (refleksi) para aktivis islam sendiri. Seperti pengantar penulisnya mengutip sebuah puisi, melalui dosa kita bisa dewasa.

Monday, January 08, 2007

blog dan rumah kaca

istilah dari seorang sahabat..

Sedemikian hebatnya blog, sehingga tahun 2007 akan diramalkan menjadi peak year blog. Diperkirakan Gartner inc., jumlah blog sedunia akan mencapai 100 juta. Banyak orang yang mendasari kegiatan blogging, mulai sebagai profesi yang mendatangkan uang, sampai sekedar punya blog untuk tidak ketinggalan mode. Isi blog beragam mulai dari blog tematik, hingga blog sekali posting-setelah satu atau beberapa kali posting terus mati. Untuk tampilan, ada yang rela menghabiskan waktu dengan syntax program, ada juga yang ikhlas apa adanya.

Bagaimanapun itu, blog adalah sebuah fenomena tersendiri. Biarpun motivasi orang bermacam-macam, rata-rata para blogger sejati menikmati dunia blogging dan bahkan menjadi semacam ketagihan. Untuk menjadi blogger yang seperti itu, tentu ada bebarapa fase yang dilalui dari tahap awal sampai stadium lanjut. Mungkin diantaranya :

  1. Mulai ada keinginan untuk membuat blog, karena teman, ramai dibicarakan orang, sekedarnya, ajang narsis, eksis atau aktualis.
  2. Mempunyai blog, mulai mem-posting. Jalan-jalan ke blog lain (blogwalking) dan meninggalkan jejak di blog-blog lain (commentship)
  3. Merasa kurang nyaman dengan tampilan blognya (template) yang standar atau ingin perubahan, dam mulai sedikit-sedikit mengutak-atik syntax, entah link-nya, tampilan total atau migrasi ke dotcom yang lebih privasi.
  4. Merasakan komentar orang menjadi sangat penting dan ditunggu terhadap postingan terbaru. Walaupun hit counter terus berputar (kalau ada), komentar adalah salah satu indikasi blogger lain peduli dengan tulisan dan blog tersebut. Dalam tahap akut, bisa lemah semangat blogging jika komentar tak kunjung datang (0 coment) dalam waktu lama. Padahal udah blogwalking sana-sini.
  5. Bahwa satu blog tidak cukup menampung semua aktivitas dan kepribadian yang beragam. Koleris dan sedkit anarkis, kadang sanguinis, kalau sendiri jadi melankolis, dan plegmatis saat tertekan. Maka ada keinginan untuk membuat blog yang memilah-milah hal tersebut. namun, banyak juga orang yang bersikukuh dengan brand satu blog.
  6. Merasa bahwa menulis di blog (posting) bukan sekedar menulis, curhat atau moody. Posting di blog menjadi semacam panggilan hidup, seperti guru Indonesia dalam mengajar. Harus posting dalam periode tertentu, bahkan setiap har,i dan gundah hati jika setelah masa tersebut belum memposting satupun tulisan anyar. Dalam tahap lanjut, merasa ’berdosa’ kepada blogger, dunia blog atau diri sendiri.
  7. Blogging adalah aktivitas yang harus dilakukan pasti saat di depan internet. Tiada internet tanpa blogging. Memposting baru, mengoprek template, blogwalking, commentship. Cerita, info dalam blogwalking mampu mengantikan sosok eksis manusia lain yang bisa membuat tertawa, tersenyum, terharu, sedih, menangis, perhatian, sayang dan cinta. Dalam stadium lanjut, bahkan blog adalah rutintas harian yang harus dilakukan. Dan ini bisa disebut blogalcoholic.

Menarik. Bahkan jika diamati bahwa perilaku blog adalah gambaran perilaku sejati para blogger. Gaya dan jenis tulisan, cara komentar, isi, warna, jenis dan warna font adalah gambaran karakter si pemilik blog (blogger). Walaupun terdapat deviasi antara dunia maya-nyata, tetap saja blog adalah sebuah gambaran jelas. Semakin lama blogging, semakin keluarlah semua sifat-sifat diri.

Makanya, jika kita membuat blog dan melakukan blogging (semua aktivitas berkaitan dengan blog), maka kita sedang membangun sebuah rumah kaca. Siapapun terkagum akan rumah kaca yang megan nan indah, pun setiap orang bisa melihat isi rumah tersebut. Sebagian atau seluruhnya. Maka, jujur dan bijaksanalah.

Wednesday, January 03, 2007

tentang seseorang

Tiba-tiba saja kau menyapaku, aku tak kenal kau sebelumnya. Mungkin tahu, tapi hanya tahu dan berlalu. Tapi, dimana juga kita pernah bertemu? Di boulevard, gedung kuliah, laboratorium atau dimana aku tak ingat. Atau tak mau bersusah mengingat persisnya.

Orang lain memanggilku Dina, Tania Ramadina. Tapi kau panggil aku Nia. Terserah, aku tak mau tahu. Menurutku biasa saja ketika orang mengajak kenalan, lalu kemudian berteman seperti biasa. Tapi aku tak mau memanggil namamu, itu bukan biasaku.

Tapi, kenapa juga mengajak ku kenalan? Tidak adakah orang lain? Makin lama berbicara denganmu, aku sendiri merasa nyaman. Biasa. Sedikit demi sedikit, keluar juga semua ekspresi kita. Tiba-tiba saja tersenyum, tertawa, mengejek atau apapun itu. Pun aku masih menganggapnya biasa, walaupun jujur, belum ada laki-laki yang bisa berbicara sedemikian ’dekat’ seperti mu.

Tiba-tiba saja, kita berbicara tentang aktivitas atau kesibukan dan lain-lain. Ada saja yang bisa dibicarakan saat-saat pertama itu. Kau tanya apa cita-citaku hingga apakah aku suka seni (padahal kau hanya mau meminta-ku untuk merapikan sebuah tulisan). Aku bilang, kadang-kadang bermain musik. Pfughh..untung kau tidak minta aku memainkan sesuatu untukmu.

Kau yang banyak bertanya. Benar. Kau yang banyak bertanya. Sebentar. Tapi, kadang-kadang aku pula yang memulai pembicaraan. Aku bilang, kau melankolis. Kau cuma tersenyum mengiyakan dan bilang bahwa orang melankolis biasanya rapi dan detil. Hmmm, mulai tersindir dengan kerapian.

Kau sangat memperhatikan hal detil pekerjaan domestik (kau yang mengungkapnya bukan?). Tentang mencuci, setrika dan memasak. Karuan saja, kaum hawa bisa malu-malu kalau kau bilang bahwa kaum perempuan harus bisa masak. Termasuk diriku. Seakan-akan kau menyadarkan perempuan untuk bisa mengurus pekerjaan rumah (tapi kau sendiri justru lebih terbiasa melakukannya). Hei.. tentang ini kau pernah meledekku. Kau bilang, ”saking pintarnya masak hingga tak pernah masak.” Dasar!

Lalu apa lagi, kau memberikanku sebuah kepercayaan untuk membantu. Aneh. Kenapa aku yang tak sangat bisa dan tak biasa? Tapi aku terima juga, sekalian melakukan hal yang baru. Pernah saat mencoba sesuatu, kau kirimi aku sebuah puisi. Sempat heran, kenapa hal itu yang kau kirim. Dua puisi, satu yang isinya tentang aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dan yang kedua tentang sekolah bukan kandang ayam. Ada-ada saja kau ini.

Kita pernah menyoal tentang pengkhianatan. Suatu malam, ya..pada sebuah malam. Aku tak mengerti awalnya. Yang jelas kau menggangu jadwal tidurku. Namun, begitu aku paham betapa sakitnya orang karena dikhianati sekalipun aku tak merasakannya, itu sudah cukup. Aku tak mau mencoba sakitnya. Sudah cukup sesak dada merasa mengkhianatimu.

Katamu, bukankah sebuah kepercayaan itu mahal? Benar, saat itu aku tak merasa pantas menjadi temanmu. ”Dalam doa, aku memohon supaya kau diberikan 1000 teman baru yang lebih baik”. Kau memberi pelajaran berharga lagi. Tapi pagi-pagi sekali kau malah mengetuk jendelaku dan berkata, ”hei.. lihat pagi ini begitu cerah. Tak baik bermuram diri..”

Kemudian lama kita tak bicara, sangat lama. Merasa ada hal yang kurang. Kangen. Ups...ada apa ini. Sudahlah. Tak boleh terjadi.

Hingga kemudian sebuah pesan masuk, ”Bolehkah laki-laki....”

Bingung juga. Sedang apa dirimu. Tapi ada pesan lagi masuk, ”maaf salah kirim...”. hmm, aku tak percaya kau salah kirim. Karena saat aku jawab, ”..ga papa.” , dan kau balas lagi dengan pesan lanjutan lainnya. Bilang saja, kau tak salah kirim. Itu bohongmu pertama. Tapi kau mungkin juga ingin menjaga diri.

Lalu kita berbicang lagi, sangat lama. Seperti ada yang kembali lagi di hidupku. Kau akhirnya jujur tentang pesan itu, sebenarnya bukan salah kirim. Aku bilang juga, sudah kuduga. Lalu kau memberiku semua pesan yang diberikan oleh sahabatmu yang lain. Ternyata, kau hanya mengirim pesan itu pada dua orang. Aku salah satunya, sekalipun kau ‘meralatnya’. Aneh. Kenapa diriku? Berkali-kali aku tanya itu.

Tapi tetap kau tak pernah mampu menjawab tuntas. Seakan kau menyembunyikan sesuatu. Aku penasaran, tapi sekali lagi aku tak mau sulit. Tak suka berdebat. Jika dibilang aku curiga, benar aku curiga denganmu. Tapi, sebenarnya aku sendiri juga tak ingin berbohong. Kau memang unik.

Lihat saja, suatu saat kau panggil aku ”anak manja”. Sembarangan. Belum ada orang yang sampai memanggilku seperti itu. Mana ada orang yang mau dipanggil manja? Tapi kau sebutkan buktinya. Dalam hati membenarkan. Tapi kau memang benar-benar keterlaluan. Itu malah jadi semacam ’olokanmu’ padaku (atau panggilan khusus darimu?). Karuan saja, jika kau menyebutkan itu aku bilang, ”you mentioned it!”

Tapi kita tak selalu berbincang saat ketemu, entah sesaat atau lama. Hingga sekarang. Mengatur ritme atau memang saling tunggu? Tak ada yang memulai sebuah percakapan baru. Bertemu, dingin. Aneh.

Apa karena aku tak pernah memanggil namamu? Kau sempat protes, ketika kupanggil situ. Kau bilang sambil bercanda, ”emang kaya tukang parkir, sini situ. Menunjuk arah..”. Ya, karena aku sangat jarang memanggil nama laki-laki, maka kuganti ’kamu’. Mungkin suatu saat nanti, akan kupanggil namamu.

Atau jangan-jangan kita tak pernah tahu lebih jelas? Tapi kau sebutkan pernah bertemu denganku dulu, saat aku sedang berjalan menuju pulang. Kau juga bilang hijau, lalu pink atau kau sebutkan warna biru dan coklat? Kamu memperhatikan juga ternyata. Jadi tak mungkin kalau tak tahu. Itu bohongmu kedua.

Kau katakan, bahwa membaca buku bukan pekerjaan orang yang terlalu banyak waktu. Membaca cerita, seperti halnya sabar terhadap cerita seseorang. Belajar kehidupan, katamu. Lalu kau meminjamkan (atau memberi?) ku sesuatu. Aku pun akhirnya mulai belajar untuk menulis, memang beda. Bisa menulis semua yang kita rasakan.

Lalu kau pernah katakan bahwa menyapa adalah keramahan. Hampir saja kita berbicara di saat makan itu. Entah bagaimana perasaanmu saat itu. Aku bingung, hingga untuk minum pun aku rela berdiri demi menghindarimu. Kau juga pernah bilang, bahwa manusia betapa hebatnya dia pada dasarnya suka pada seseorang yang membuatnya simpatik, perhatian dan lainnya. Tapi semua harus dijaga. Seperti kata Arai, teman Ikal (Sang Pemimpi), kita tak boleh mendahului nasib.

Kau memang menarik. Disaat tertentu, kau bak pujangga perangkai kata. Kau menuduh, ”perempuan tak punya jiwa!”. Tak mungkin. Ku balas, ”perempuan punya jiwa yang berbeda”. Jawaban cerdas katamu. Kau mungkin bisa menjadikanku seorang dewi, sekalipun kau bukan seorang dewa. Bukan seorang dewa, sesuatu yang pernah kau ungkapkan.

Lalu kau menjelma menjadi tukang hikmah. Banyak pelajaran, inspirasi yang kudapat dengan bergaul denganmu. Tapi tiba-tiba kau bisa jungkir balik menjadi orang yang lemah, terjatuh hebat, seolah butuh uluran tangan. Atau bahkan menjadi orang yang hidup dengan segenap pernik modernitasnya. Lengkap, sekaligus kekuranganmu. Pernah aku sangat senang bicara dengannya, mengajak berpikir dalam, tapi kadang membuat jengkel, atau heran terhadap sikapnya. Betapa tipis, semua rasa-rasa itu.

Aku ingin orang yang menjadi teman hidupku, bukan hanya yang pandai memuja diriku, tapi juga yang lebih utama memuja diriNYA. Yang bisa memimpin dan membimbingku. Terlalu idealkah itu? Manusia boleh berharap. Aku sendiri mungkin tak pernah bisa membantumu saat-saat kau benar-benar sangat butuh uluran.

Kau senang untuk saling berbicara tentang cita-cita. Berbagi mimpi, katamu. Terakhir, kau tunjuk sebuah daratan di seberang jauh. Sebuah daratan biru. Sepertinya kau ingin sekali kesana. Aku pun ingin sangat. Selebihnya, aku tak tahu apa maksudmu. Terlalu banyak yang tak kumengerti darimu. Tapi aku juga takut, saat kau terlalu dekat denganku.

Aku tak tahu kini harus seperti apa kepadamu. Aku sendiri bingung terhadap perasaanku. Tapi aku justru yakin akan perasaanmu. Bagaimana bisa? Kau yang bisa menjawabnya sendiri. Semoga benar.

dalam waktu beranjak dewasa
-sebuah fiksi realis-