Monday, June 26, 2006

Kisah Masa Depan

Dua puluh orang mahasiswa ITB terpampang namanya dalam pengumuman seleksi penerimaan beasiswa PPSDMS Nurul Fikri pertengahan Desember 2003, saat baru saja aku merasa sebagai “mahasiswa TI”. aku masih ingat, pemberitahuan dan ucapan pertama datang dari lucky di sebuah kelas kuliah. Alhamdulillah…, lalu sebuah perjalanan panjang dimulai.

Kami ber-20 berkumpul, ketika sebuah malam di asrama menandatangani ”kontrak” sebagai peserta. Creates Future Leaders, membanggakan dan juga memberatkan. Maka, bercampur baur perasaanku. Takut, bangga, cemas dan senang. Beberapa dari kami memang sudah saling kenal awalnya. Tapi beberapa juga, harus memulainya malam itu.

Lalu, semua rutinitas pun dimulai. Masing-masing masih ”menjaga identitas” dengan kekakuannya. Karena begitu beratnya kepercayaan ini, maka kami tak ubahnya 20 mahasiswa ”terbaik” (dalam multidefinisi) yang digodok dalam kawah candradimuka. Bahkan aku pernah mengatakan pada teman, ”tiap hari adalah dauroh (diklat)”. Bagaimana tidak. Jika siang kuliah+aktivitas, kemudian hampir tiap malam jam 20 ada kajian. Kontemporer, keislaman, dialog tokoh, dan pasca kampus. Lalu seminggu sekali, Qiyamul-Lail berjamaah. Bangun jam 2 atau paling telat jam 3! Ada seloroh waktu itu bahwa kami-kami ini, ”ikhwan (laki-laki) pingitan”!!!

Satu semester berjalan, dari empat yang harus dilewati. Semua lolos untuk lanjut dalam semester berikutnya. Prestasi, prestasi, prestasi!!! Kata yang banyak diucapkan saat evaluasi itu. Memang, dalam satu semester itu, tak satupun kami yang berprestasi, yang dalam definisi ini adalah prestasi dalam kancah lomba (bukan kuliah dan organisasi). Tekanan kehidupan pun berlanjut.

Berikutnya, ada yang pergi, dan ada yang datang. Karena evaluasi dilakukan tiap akhir semester, beberapa dari kami tidak bisa melanjutkan. Aku yakin, beberapa dari kami yang ”tersisa” di asrama punya pikiran untuk didepak, jika itu lebih baik. ”Wong, kami ga punya prestasi-prestasi”. Dari segi IPK pun, tak banyak yang terancam cum-laude. Trauma dengan lulusan angkatan UI, yang banyak berprestasi baik lomba maupun cum-laude. Praktis, hanya satu orang yang menang lomba kurun waktu itu. Sedih meratapi nasib kami-kami.

Dan kesempatan yang ditunggu datang. Ya...sejak salah satu dari kami maju sebagai kandidat capres, maka ini adalah sebuah kesempatan untuk ”berprestasi” secara kolektif, asrama! Maka hampir semua kami ikut membantu, mulai dari yang jadi manajer kampanye, masang-masang spanduk-baligho, hingga yang hanya do’a. Asrama benar-benar jadi markas koordinasi dan kampanye saat itu. Semuanya berjalan baik-baik saja akhirnya, 4 orang dari kami ikut ngurus ”negara ITB”. Kata orang, ”ini mah boyongan”. Tak jarang (bahkan sering), rapat-rapat justru dilakukan dari ”cikeas” ini.

Lalu tekanan itupun sedikit mulai berkurang. Entah karena kami merasa, belum ada peserta UI yang jadi presiden BEM-nya. Atau karena kami sudah tidak peduli lagi dengan sistem asrama. Karena juatru sebenarnya saat itu, mulai ada peraturan ”aneh”. Setiap keterlambatan 2 menit datang acara asrama didenda 10 ribu, tidak datang 80 ribu, keterlambatan maksimal 10 menit (dengan tetap didenda). Absen tidak datang 2 kali sebulan dengan sangat dipertimbangkan, atau tetap didenda. Beasiswa bulanan yang ”hanya” 250 ribu seolah tak ada artinya. Aku dapat sekitar 400 ribu. Dan rekor waktu itu, ada yang hutangnya mencapai 1,4 juta!!!

Tapi bener, lampu-lampu keceriaan mulai tumbuh. Bukan hanya karena ada ”anak kecil” yang masuk menggantikan, tapi kami merasa kami-lah orang-orang beruntung yang disatukan. Jujur, sangat sedikit dari semua materi yang nyanthol di kepala kami. Tapi paradigma dan komunitas, itulah inti dari semuanya.

Paradigma tentang membangun umat islam Indonesia yang sangat terpuruk dalam segala hal, yang berarti juga membangun Indonesia itu sendiri. Pertimbangan aspek sejarah, islam, sosisologis dan prioritas. Bahwa membangun peradaban saat ini, adalah by design. Dan kami-kami inilah salah satu proyek peradaban itu.

Komunitas, sebuah pelajaran kehidupan yang menarik dari semua perjalanan kami. Menghargai, berbagi, tertawa, sedih dan bahkan pernah kami menangis bersama. Mengetahui karakter orang lain, dan kami tahu diantara kami bukan orang yang”sembarangan”, di organisasi kampus atau kuliah. Ketika orang-orang hebat berkumpul, apa yang terjadi? Walaupun kami bukan yang hebat-hebat amat, setidaknya kami pernah bersama dalam periode kecil kehidupan orang-orang hebat.

Orang hebat berpikir besar, itu benar. Saking besarnya hingga hal-hal yang kecil pun terlewat. Merapikan kamar, baju berserakan, koran, karpet, nyapu, ngepel, membersihkan toilet, dan yang paling sering lupa, nyuci alat makan dan GELAS!!! Untuk baju tanpa tuan saja, sudah lebh dari 2 kardus TV 21” yang membawa keluar asrama, ke baksos. Tapi sekarang, masih ada lebih dari 1 dus lagi. Heran.

Kemudian nonton TV, justru saat-saat berkumpul yang menyenangkan. Mulai dari perbedaan channel pilihan dengan alasan rasional, sok ilmilah dan kadang-kadang emosional (remote dibawa dan diam tanpa suara), hingga diskusi di sela acara TV itu. ”Seharusnya seorang Ahmadinejad bisa berpidato bahasa inggris”, saat Ahmadinejad berkunjung ke UI dan UIN. Lalu tertawa dengan, ”terkejut terkejut terkejut” khas Tora. Maraknya iklan "Ponds" dengan suasana ”ehem ehem”, dan berujung pada komentar (berusaha) ilmiah ”rata-rata setiap 3-5 iklan, pasti ada satu iklan produk wanita”.

Kami juga punya karakter-karakter yang unik. Kenapa seorang bisa menjadi common enemy? Di kami, karena dia banyak terbukti tidak mencuci gelas, menaruh baju+handuk sembarangan, suka ngomongin hal-hal besar tapi tidur dengan segelas kopi yang belum habis di sampingnya. Anda pernah membayangkan seorang yang bertubuh kurus bermain gitar ala John Petrucci? Alasan singkatnya, ”tubuh kecil karena belum ada yang ngurus!”

Bagaimana dengan hobi bola dan klub favoritnya yang sangat eksplosif dan resisten, dan akhirnya orang lain pun harus ”tahu diri” jika ada tontonan bola yang remote berada di tangannya. Suka buat sajak-sajak? Ada pakarnya disini yang mengisi milis maksimal tiap seminggu sekali menyebabkan banyak ”kebingungan” diantara kami. Hingga pernah, seorang dari kami yang ”lugu sastra” sengaja mencopy milis, dibawa ke rumah untuk diartikulasikan oleh seorang lainnya.

Ada juga ”orang alim” disana, sebagai ”ikon keshalehan” kami bersama. Jika ada sesuatu heboh, dengan dia bereaksi atau tidak, maka kami mengucap, ”bahkan al-fulan pun bingung” atau ”bahkan al-fulan pun tersenyum” dan banyak kombinasi lain. Ada yang tidak pernah nongol di asrama tapi tercatat, kami menyebutnya ”the lost boy”. Ada yang ”patah hati” karena yang sering ditanyakannya ”berpasangan” lebih dulu. Ada yang malu-malu mau, malu kalau sedang ”membuncah” tapi mau, buktinya persiapan benar-benar dengan menjadi ”bapaknya” anak-anak tetangga dan suka nyrempet-nyrempet juga.

Yang pasti bakal diingat, banyak ungkapan tercipta dalam kehidupan kami. Yang paling tajam, ”ukhuwah itu kejam!”. atas nama ukhuwah, makanan sendiri bisa jadi makanan bersama. Semua barang yang ada di ruang publik adalah barang umat. Benar-benar sosialis religius. Dan beberapa sebutan nama diantara kami yang sangat ”enak diucapkan dan khas”, tak peduli di asrama, di kampus bahkan di angkot. Ternyata setelah di-trace, sumbernya oknum tertentu.

Bagaimanapun kami, banyak keluarbiasaan yang telah lahir. Jalan-jalan masa depan yang mulai digelar, sharing-sharing dalam segala rona kehidupan, kekonyolan (hingga pusat pun akhirnya ”menelantarkan”) dan satu yang pasti, kekongkritan dalam menuju hidup berpasangan (masih tetap satu orang?). Tapi memang benar, setinggi-tingginya cita dan idealisme, semuanya berawal dari diri sendiri dan keluarga (sendiri, bukan ibu-bapak), terlepas ”perdebatan” tidak penting kami, apakah japri, japro atau japri tapi pro. Dan ketika seorang berceramah panjang lebar tentang MSG, mie instan, teflon, kanker, diabetes dll, pertanyaan akhir yang terlontar dalam kebengongan, ”apa semua anak farmasi tau ini?”. Lalu berlanjut, ”kalau dokter?”

Pemimpin juga manusia, ya… itu yang kami akhirnya selami. Tentang hati, memang Allah-lah Yang Maha Tahu. Yang aku yakin saat ini, kami sudah punya cita-cita besar bersama nan mulia, dan gambaran langkah-langkah kami mencapai kesana. Hari-hari ini, kami mulai menapaki tangga-tangga itu. Aku sendiri sudah tak sabar menantikan masa depan, saat kemudian kami berkiprah dalam bidang-bidang di bangsa ini. Sudah tidak sabar menunggu ketika bertemu lagi, sudah bukan lagi laki-laki biasa yang sendiri. Tentu banyak yang bisa diceritakan. Tentang bangsa, pekerjaan, kisah-kisah, kenangan masa lalu dan segala bentuk ”ukhuwah” kami. Tak lupa pertanyaan ringan, ”jadi milih 11 jus jeruk atau yang bisa masang tabung gas?” Pasti indah saat itu. Ah...aku tak sabar lagi.

terima kasih sahabats, atas sepenggal kehidupan bersama

Tuesday, June 20, 2006

fragmen peradaban

Sejarah selalu mengajarkan banyak hal kepada kita. Sejarah adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini. Konflik dalam sejarah selalu mendahului solusinya. Sehingga orang yang mengetahui sejarah akan bisa memilah, mana hal yang baik untuk ditirunya dan mana yang harus dihindarinya. Dari sejarah, manusia belajar menghargai masa kini untuk menatap masa depan. Kita, harus belajar sejarah. Karena kita, adalah pelaku sejarah…


***

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, saya, Khalid bin Walid memberikan jaminan atas nama Allah bagi seluruh penduduk Damascus, Bahwa akan diberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta dan gereja kota Damascus tidak akan dihancurkan dan mungkin akan ada beberapa orang muslimin yang akan tinggal disebagian rumah mereka. Inilah yang dijanjikan kepada mereka, sebagai mana janji Allah, janji Rasul, janji Khalifah dan orang-orang yang mengikuti mereka, sejauh mereka membayar pajak, tidak ada lain kecuali kebaikan bagi mereka.

[Pidato Khalid bin Walid sebelum masuk kota dalam penaklukan Damascus (635-636 M), yang menjadi tonggak bagi seluruh panglima Islam selanjutnya]

*

Allah menciptakan kami untuk mengeluarkan manusia dari kesesatan menyembah manusia dan mengajak mereka supaya hanya menyembah Allah SWT. Untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan dunia kepada cahaya terang benderang, untuk mengeluarkan mereka dari kezaliman sistim manusia kedalam keadilan Islam.

[Perkataan Rib’yi bin Amir (utusan Saad bin Abi Waqqash), bertemu dengan Jazdagird kisra Persia untuk pertama kalinya tahun 644M saat pasukan muslim berhasil membuka sebagian besar Persia. Perkataan itu adalah khutbah yang pernah disampaikan oleh Rasul saat Haji Wada’]

*
Hey People! There is nowhere to run away! The sea is behind you, and the enemy in front of you: i swear to God, you have only sincerity and patience, and no minister but your swords.

[Pidato Thariq bin Ziyad dalam pendaratan di Andalusia (711M), dan akhirnya pasukan islam berhasil membebaskan Andalusia dari panjajah (Visigoth, aristrokrasi militer Jerman) dan menjadi tonggak kemajuan Andalusia yang menerangi Eropa]

*

Baitul Maqdis adalah rumah Allah, dan saya datang bukan untuk mengotori kesucian kota ini dengan menumpah darah. Karena hendaklah kalian menyerahkan kota ini kepadaku. Aku akan menjamin keamanan kalian dan memberikan tanah kepada kalian sesuai kadar kekuatan kalian untuk mengolahnya.

[Pidato Shalahudin Al-Ayubi dalam usia 50 tahun, ketika memasuki kota Baitul Maqdis (1187M) setelah kota tersebut dikuasai oleh pasukan Eropa selama 88 tahun. Shalahuddin sebelumnya menyisir untuk membebaskan beberapa kota di sekitarnya seperti Thabariah (tepi sungai Yordania), Akka (pesisir pantai), Azkalan dan Shuar dari pasukan Eropa untuk menuju Al-Quds.]

*

Niyatku hanyalah semata-mata ekspresi dari pemerintah yang tidak lain adalah perintah- Nya yaitu jihad dijalan Allah (Niyatii hiya imtitsaali lilamru illa hiya-Jahiduu Fii Sabilillaah), dan semangatku sesungguhnya dia adalah semangat di jalan agama Allah (wa Hamaasii innamaa huwa hamaasu fii Sabiili Dinullaah).

[Syair Sultan Muhammad Al-Fatih (Muhammad II bin Murad), diatas punggung kudanya dalam selalu kelelahan berjuang. Sultan, dalam usia 24 tahun (Mei 1453M) berhasil menaklukan Constatinopel, ibukota Binzantium, setelah pada masa sebelumnya kota ini sudah dikepung oleh kaum Muslimin sebanyak enam kali, pada tahun 664M armada laut Muslimin Dibawah Bisr bin Artha’ah mengepung kota ini, pada tahun 672M Yazid bin Muawiyyah juga mengepung kota ini, setelah empat kali armada Muslim berusaha mengepung dan menguasai kota tetapi belum pernah berhasil. Keberhasilan Al-Fatih ini membuktikan Nubuwwah Rasulullah Saw yang pernah ditanya sahabat, mana yang akan takluk terlebih dahulu, al-constantin atau ar-ruum (roma). Dan Rasul menjawab al-constantin, kemudian ar-ruum. Lalu Rasul mengatakan bahwa panglima yang memimpin pembebasan itu adalah sebaik-baik panglima dan pasukannya adalah sebaik-baiknya pasukan. Sehingga sahabat dan generasi berikutnya “berlomba” menuju itu.]

*

Nasehati mr. Hertzl agar dia tidak terlalu serius menanggapi masalah ini. Sesungguhnya saya tidak sanggup melepaskan kendati hanya satu jengkal tanah itu, Palestina, sebab bukan milik pribadiku. Tapi milik rakyat, rakyatku sudah berjuang memperolehnya sehingga mereka siram dengan darah. Silahkan Yahudi itu menyimpan kekayaan mereka yang milyaran itu. Bila pemerintahanku sudah tercabik-cabik, saat itu mereka baru bisa menduduki Palestina dengan gratis. Adapun jika saya masih hidup, maka tubuhku terpotong-potong adalah lebih ringan ketimbang Palestina terlepas dari pemerintahanku. Kasus ini tidak boleh terjadi. Karena saya tidak kuasa melihat tubuhku diotopsi sedang nadiku masih berdenyut.

[Perkataan Sultan Abdul Hamid, menolak imbalan yang ingin diberikan Israel untuk “membeli” tanah palestina (1902). Diantara imbalan tersebut adalah, 150 juta poundsterling Inggris khusus untuk sultan, membayar semua hutang pemerintah Ustmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling Inggris, membangun kapal induk untuk menjaga pemerintah, dengan biaya 120 juta Frank, memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga, membangun Universitas Ustmaniyyah di Palestina. Semuanya ditolak sultan, bahkan sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya. Padahal Utsmaniyah saat itu dalam kondisi akut. Tapi karena Palestina telah diwakafkan oleh Umar Bin Khatab kepada seluruh umat islam (637M). Yaitu dalam kemenangan Abu Ubaidah bin Jarrah dan Khalid bin Walid terhadap Bizantium, setelah dikepung oleh pasukan muslim selama berbulan-bulan, penguasa kota Yeruzalem, Shophoronius, mau menyerahkan kunci kota Yeruzalem dengan syarat, penerimaan kunci kota Yeruzalem dilakukan sendiri oleh Khalifah Umar, maka berangkatla Khalifah Umar ke Yeruzalem. Dan penduduk Yeruzalem memperlakukan sama dengan penduduk Damascus.]


tiada kemuliaan tanpa kekuatan..

Friday, June 09, 2006

kekerasan, dalam kelembutan

Thifan Pokhan, sebuah ilmu beladiri yang awalnya tumbuh dalam perkampungan muslim di cina. Thifan adalah nama sebuah daerah di cina, dan sekarang masuk Fujian, sedangkan Pokhan berasal dari Po=pukulan, khan=bangsawan. Konon memang, ilmu (sekaligus seni) ini dipakai oleh para bangsawan-bangsawan. Sehingga cirri khas gerakannya pun lembut tapi tetap mengandalkan teknik dan kecepatan.

Dan untuk sampai di Indonesia sendiri, tidak terlepas dari peran saudagar cina. Walaupun para ulama di melayu yang akhirnya mengartikulasikan (tidak hanya menerjemahkan) kitab-kitab thifan dari cina dan mengembangkannya dalam gerakan jurus-jurus. Artikulasi ini yang menimbulkan multi tafsir.

Sehingga dalam thifan juga terdapat beberapa aliran. Salah satunya adalah aliran tsufuk, jadi lengkapnnya Thifan Pokhan Aliran Tsufuk. Tsufuk artinya kurang lebih adalah pernafasan. Jadi thifan aliran tsufuk mengolah tubuh dengan menggunakan tata olah pernafasan sebagai dasar dan penguat.

Kenapa belajar beladiri? Secara filosofi, beladiri mengajarkan untuk mempunyai semangat bertarung dalam menjalani kehidupan. Betapa kehidupan yang keras, laiknya pertempuran harus dihadapi dengan fighting spirits yang mumpuni. Dan golongan yang punya kekuatan-lah (akal, agama dan fisik), yang mampu menatap dan berdiri tegak menghadapi semuanya. Kita bisa melihat sikap nuklir Iran terhadap opini Amerika. Tiada kemulian, tanpa adanya kekuatan.

Kenapa Thifan? Beladiri secara umumnya memberikan dua skill, yaitu bertahan dan menyerang, tangkisan dan serangan. Di thifan sendiri, dua hal itu juga didapatkan dengan metode khasnya, kelembutan, teknik dan kecepatan. Kelembutan artinya mengalir, tidak dipaksakan. Gerakan-geralan dasar thifan tergolong ”lunak” jika dibandingkan dengan beladiri-beladiri lain, misalnya tendangan kaki taekwondo, boxer atau karate. Tidak instan dan memaksakan, karena bisa menyakiti tubuh. Kekerasan yang dibentuk timbul dengan adanya latihan dan pengulangan, dengan didukung pernafasan.

Teknik dengan memperhatikan sasaran yang ingin ditangkis atau diserang, apa tujuan dan akibatnya. Sedangkan kecepatan, adalah gerakan mengalir yang cepat. Dengan adanya kecepatan, maka ketahanan pernafasan menjadi utama. Bagi yang terbiasa latihan keras beladiri lain atau atlet olehraga lain, belum tentu ia akan sanggup menjaga ketahanan nafas jika melakukan semua jurus thifan dalam satu tingkat tertentu, karena aliran oleh nafas yang berbeda.

Jika tidak memperhatikan dengan seksama, seringkali melihat gerakan thifan seperti tarian. Mengalir lembut, kontinu dan cepat. Bahkan di bagian tangan terbuka (tangan kipas), benar-benar separti dua tangan yang menari-nari di udara. Kelembutan dalam kekerasan, kekerasan dalam kelembutan.

Selain karena gerakan, thifan dibangun atas dasar islam. Semuanya diwujudkan dalam 10 janji thifan yang sangat kental islam dan sastra melayu kuno. Ambil contoh janji pertama, ”sanya aku tidak akan menyekutukan Allah, aku tidak akan percaya pada takhayul, khurafat dan tidaklah aku akan berbuat bid’ah dalam syara.” Atau janji yang ketiga, ”sanya hanya kupergunakan ilmu ini pada jalan haq, dan semoga terumpang barahlah aku apakala ilmu ini kupergunakan pada jalan bathil atau aku menkhianati amanat ilmu ini jatuh diluar haq.

Apa yang terlintas pertama dengan aliran bahasa kata-kata janji diatas? Melayu kuno. Dan itu juga ditemukan di karya-karya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), semisal Di Bawah Lindungan Ka’bah atau Tenggelamnya Kapal Vanderwijk. (catatan: sanya berasal dari bahwasanya)

Belajar thifan adalah melakukan beberapa hal sekaligus. Olahraga, beladiri, seni dalam bingkai islam. Sangat efisien, dalam satu kesempatan mendapat banyak hal. Walaupun banyak godaan yang menyertainya, sebanding besarnya manfa’at yang akan diperoleh. Ada sebuah ungkapan bagi orang-orang yang mulanya latihan dan akhirnya tidak, yaitu orang-orang yang berjatuhan di jalan thifan.

Dan memang seringkali (semoga tidak selalu) terjadi. Dalam sebuah angkatan pendaftaran sejumlah 30an orang, tamid (sebutan murid di thifan) yang bertahan sampai 2-3 tahun (biasanya) tidak lebih dari 5. Bahkan ada yang ”tersisa” 1 atau 2. Padahal latihan ini tidak keras, tapi memang butuh konsistensi dan kesabaran. Dan itu ternyata yang paling sulit.

Tempat latihan sudah berkembang di beberapa kota besar Indonesia. Pusatnya di bandung terdapat di sekretariat masjid Pindad. Beberapa di sekitar bandung terdapat di Salman ITB, Sedang Serang, As-Syamil, Pajagalan (Persis Pusat), Buah Batu dan DT (kedua terakhir tidak tahu perkembangannya lagi). Jika di Jakarta, ada di UI Depok, Al-Hikmah dan Cempaka Putih.

Untuk para perempuan pun ilmu thifan diajarkan, dengan nama Putri Gading. Perbedaan dengan thifan laki-laki dalam gerakan jurusnya (konon lebih disesuaikan dengan perempuan) dan kombinasi warna seragamnya. Jika thifan dominasi merah dengan garis hijau, sedangkan Putri Gading dominasi hijau dengan garis merah. Sedangkan untuk tingkatan-tingkatan tidak ada perbedaan.

Tapi karena sangat tidak banyak para perempuan yang ikut Putri Gading ini, ada sebuah istilah ”unik” bagi mereka-mereka yang tidak pernah satu kalipun ikut berlatih. Mau tahu?

Thursday, June 01, 2006

Bercerita

Setiap orang punya cerita, tapi tidak setiap orang mau untuk bercerita. Aku termasuk yang pertama, suka bercerita. Lebih tepatnya, berbagi cerita.

Dulu, momen bercerita menjadi saat-saat yang menyenangkan. Selepas ayah pulang dari tugas jauh, atau bepergian tanpaku, maka meja makan menjadi tumpahan cerita. Dan jika ada hal-hal ”baru”, semua ceritanya tersaji dalam obrolan meja makan. Ya...obrolan meja makan. Sekalipun tanpa banyak ”tumpahan” makanan disana.

Keluarga-ku sederhana, untuk ukuran ”pegawai” separti ayahku. Sederhana dari bentuk rumah dan isi-isinya , dan tak lupa, lokasi yang di pinggir sawah. Benar-benar rumah tua yang besar, hasil warisan orang tua angkat ayahku. Sederhana dalam gaya hidup, mulai makanan yang sekedarnya, didikan pakaian dan kegiatan rumah tangga.

Sejak kelas 2 SD, aku sudah diajarin mencuci baju sendiri. Pertama baju yang kupakai sehari-hari, lalu sejak kelas 4 seragam sekolah pun berpindah tangan dari awalnya oleh ibuku. Ayahku, sampai sekarang masih pula mencuci sendiri. ”lebih yakin nyuci sendiri,” sebuah pledoi aku pikir. Walaupun sekarang, lebih banyak ”alasan” perihal keluarga yang mendasarinya.

Jangan tanya membersihkan rumah. Aku tak ingat pasti. Tapi sejak sangat kecil, menyapu ruang tamu, mengepel, dan menyiram tanaman. Aku anak laki-laki dengan kedua kakak perempuan, dan mungkin ”pendidikan kewanitaan” banyak mampir padaku. Sering tetangga-ku berujar, ”tuh, perawan-nya lagi nyapu”. Karena sampai lulus SMU, setiap seminggu sekali pulang (kost sejak kelas 1 SMU...karena rumahku yang ”desa”), minggu pagi pasti menyapu rumah tua nan besar plus halaman luasnya. Dan orang-orang yang mau berangkat ke sawah, pasti melihat.

Atau bahkan kegiatan yang lebih ”keras”, menjemur padi. Ya..keluargaku punya sawah yang ”cukup” dan dalam tiga kali setahun panen. Sedikit pembenaran, hitam kulitku mungkin karena suka main di sawah dan mandi di kali (sungai). Lain kali aku ceritakan tentang sawah dan kali ku.

Justru karena sederhana itu (sekali lagi untuk ukuran keluarga ”pegawai”), kami benar-benar berlatih hidup. ” lebih sulit belajar susah, daripada belajar senang”, kata ayahku. Dan benar, dalam kisah-kisah beberapa pihak dalam keluarga besarku yang bermasalah, kata-kata itu terbukti. Untuk mendukung buah ajarnya, sejak kelas 2 SD aku tahu persis kisaran gaji ayahku, sampai sekarang. Katanya, ”hanya uang halal yang menenangkan.” Pendidikan keluarga masa lalu yang indah.

Tapi kami bukannya tidak mau dengan hidup ”cukup”. Hidup cukup kami ketika dalam kegiatan perjalanan. Ke Solo, kota favorit keluarga. Selain karena ada beberapa saudara, kakak pertama-ku juga sebulan sekali berobat kesana. Belanja, hampir pasti. Ayahku berburu barang-barang bekas mesin dan ibuku di pasar favoritnya, Klewer. Cukup saat perjalanan, tapi tetap saja aku tak berani hanya meminta sepotong Es Krim saat ke Gua Maharani, Lamongan, waktu kelas 2 SMP. Walaupun akhirnya ayahku yang menawari dan membelikannya langsung.

Lalu, kecukupan kami juga dari penggalan-penggalan cerita. Setelah ayah pulang dari bepergian luar kota (Surabaya seringnya), maka pengalaman-pengalaman mengalir darinya. Hotel berbintang atau penginapan nyaman, makanan enak, suasana kerja dll. Pun ketika aku selesai bepergian jauh tanpa keluarga, cerita juga mengalir dariku. Atau peristiwa-peristiwa harian yang menjadi cerita bersama.

Banyak hal yang bisa dihasilkan dengan bercerita. Dan lebih tepatnya berbagi cerita. Apa yang tidak dialami oleh diri sendiri, bisa didapatkan hikmah dari orang lain yang mengalaminya. Membentuk visi, karena kita diajarkan punya pandangan kesana. Walaupin belum tentu kita akan mengalaminya di masa depan, kita sudah ”tahu” bagaimana itu terjadi, lewat cerita. Bukankah kehidupan manusia pada dasarnya adalah cerita bagi manusia lainnya? Maka berikanlah cerita kebaikan pada mereka.

Berbagi mimpi, adalah bagian bercerita. Berbagi mimpi artinya menceritakan apa yang kita rencanakan di masa depan kepada orang lain. Kerena kita sudah berbagi, maka upaya menuju kesana pun akan berbeda, lebih berusaha keras. Pun jika kita tak tercapai mimpi itu, ada sahabat yang mengingatkan, ”bukanlah kau pernah bermimpi menjadi ...?” Maka kita pun bergegas kembali menyusun mimpi-mimpi baru yang lebih sesuai. Bukankah itu indah?

Aku suka ber-(bagi) cerita. Dari cerita tentang cita-cita, idealisme, mimpi dan kehidupan, hingga cerita dari setiap helai baju yang kupunya, kenapa aku memilihnya. Aku suka ber-(bagi) cerita, salah satu alasan kuatku membuat sebuah tempat berbagi cerita . Menjadi “rumah kedua”, sekaligus batu bata kecil cita-cita mulia.

Tapi memang, tidak dengan semua orang kita banyak bercerita. Dengan siapa kita bercerita adalah jawaban interpersonalitas kita dengannya. Dan, aku pernah berujar pada seorang sahabat, “Bahkan ketika ’malam itu’ tiba, aku tak ingin melewatkannya tanpa berbagi cerita lebih dulu”. Lalu ia menjawab ringan, ”kasihan dia-nya, tau!”.

terima kasih, buat yang membantu bercerita